Dia datang bukan untuk melemahkan, melainkan untuk menguatkan. Apa itu? Dialah yang bernama Ujian.
___PERMAINAN LANGIT___
@almiraana_31Hari ini Hilda mencari pekerjaan tambahan. Dia tidak bisa hanya bergantung pada upah dari hasil memungut botol plastik itu. Uang nya hanya cukup untuk dibuat makan, sedangkan bayar sekolah dan kontrakan belum sama sekali.
Hilda sempat di tawari untuk bekerja di rumah makan ayam geprek milik keluarga Bari. Tapi ia tolak. Hilda sudah tidak mau menyusahkan sahabatnya itu. Dari dulu, Bari selalu membantunya dalam masalah finansial. Sekarang dia sudah lulus SMA, sudah saatnya untuk bisa nyari uang sendiri.
Pekerjaan tambahan Hilda ialah sebagai tukang sapu jalan. Kebetulan ibu ibu tua yang biasa menyapu jalanan sedang menemani anaknya yang tengah melahirkan. Jadi Hilda hanya menggantikan beberapa minggu saja.
Jalan raya kali ini cukup ramai. Apalagi ia menyapu di dekat warung bakso yang biasa mangkal di pinggir jalan.
Di tengah tengah kerjanya, tiba - tiba ada seorang laki - laki yang terburu buru sampai menabraknya. Hilda mengaduh kesakitan karena lututnya sedikit tergores.
Laki laki itu menyerahkan tas berukuran sedang kepada Hilda, kemudian dia lari begitu saja.
"Loh, mas - mas, tas nya mas?"
Dirinya mengeryitkan dahi. Kenapa orang itu tambah lari? Kenapa tas nya gak dibawa? Gimana sih. Gerutu Hilda dalam hati.
Di seberang jalan, terlihat seseorang tengah istirahat di dalam mobilnya. Ia yang melihat tingkah Hilda hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Waaah, ini dia copetnya!" teriak bapak bapak dengan tangan yang sudah mencengkeram lengan Hilda.
Copet? Siapa yang copet?
Raut wajah Hilda seketika berubah penuh dengan kebingungan.
"Hajar aja pak!" Teriak salah satu warga
"Jangan pak, saya bukan copet" ujar Hilda membela diri.
"Mana ada maling ngaku! Ya gak, bapak bapak?"
"Betul itu. Udah hajar aja, biar kapok!"
"Demi Allah, saya bukan copet. Ini fitnah!" Hilda berusaha melepas cengkeraman itu, tapi tenaganya tidak cukup kuat.
"Ngeles aja lo!" Sebuah pukulan hendak mendarat di kepala Hilda.
Hilda mengangkat kedua tangannya untuk melindungi wajah dan kepalanya. Dirinya sudah pasrah jika harus berakhir dengan cara seperti ini. Mau dilawan tapi jumlah warga yang mengerubunginya terlalu banyak.
Dengan gerakan cepat seorang pria menangkap pukulan yang berjarak 10 cm dengan kepala Hilda.
"Saya mohon pak, jangan main hakim sendiri. Apa gunanya meja hijau jika bapak - bapak masih suka main keroyokan seperti ini?"
Hilda yang mendengar suara itu mulai menurunkan tangannya perlahan. Posisi laki laki itu tepat di depannya, seperti seorang suami yang menyembunyikan istrinya di belakangnya. Sangat dekat. Bahkan Hilda mampu mencium aroma parfumnya.
"Ini tas saya pak" ibu ibu yang baru datang langsung mengambil tasnya yang di pegang salah seorang warga yang ada di situ.
"Dan malingnya bukan mbk ini. Dia laki laki. Justru mbak ini yang sudah menyelamatlan tas saya. Makasih ya mbk." Ibu itu tersenyum ke arah Hilda.
Hilda mengangguk pelan.
"Oalah, kenapa nggak bilang dati tadi sih bu. Maafin saya ya mbk." Ujar salah satu warga yang mencengkeram lengan Hilda, dan kini sudah di lepaskannya.
"Maafin saya juga ya mbk" laki laki yang hendak memukulnya tadi juga turut meminta maaf.
"Ya sudah kalau gitu semua bubar bubar!" Ucap Bapak- Bapak yang memakai topi.
Semua nya lantas pergi, termasuk ibu ibu pemilik tas tadi. Sekarang hanya sisa Hilda dan laki laki yang menolongnya tadi.
"Makasih ya mas, sudah mau menolong saya" ujar Hilda.
"Lain kali hati - hati." Ucapnya yang kemudian pergi meninggalkan Hilda.
Hilda menatap punggung lelaki itu. Tak berselang lama, dirinya tersadar akan pekerjaannya.
Matanya sedikit melotot saat mendapati daun yang sudah ia kumpulkan berserakan lagi. Hilda menghela nafas dalam dalam. Tangannya beralih mengambil sapu yang sudah tergeletak tak jauh darinya. Sedikit merasa nyeri akibat cengkeraman tadi yang terlalu keras.
*Di Rumah
"Kak, mana uang buat beli sepatu. Katanya kemarin mau di kasih. Mana?" Seperti biasa, ajeng berbicara dengan nada tinggi kepada sang Kakak.
"Ini." Hilda terpaksa menyerahkan semua uangnya kepada Ajeng.
"Aduh kak, segini mana cukup?! Harga sepatu itu minimal 200 ribu. Kasih lagi!"
"Nggak ada dek, cuma itu yang kakak punya. Hari ini kakak juga kurang enak badan."
'Ck' Ajeng memutar bola matanya jengah.
"Inget ya kak. Kalau kakak nggak mau beliin aku sepatu baru. Aku ga mau pergi sekolah!" Ancam Ajeng sebelum dirinya belum benar benar pergi meninggalkan Hilda.
Hilda memijit mijit kepala nya yang teras sedikit pusing. Kenapa Ajeng Jadi seperti ini? Padahal dulu waktu bapak sama ibu masih ada dia gak pernah sekasar ini. Sekarang, kalau ngomong aja pakai nada tinggi, nggak bisa biasa aja, sedikit sedikit ngancem.
Ajeng yang tengah kesal dengan Hilda, berjalan dengan kaki yang diseret seret. Ajeng merasa kalau kakaknya itu pelit. Minta uang buat beli sepatu aja cuma dikasih 50 ribu.
"Pake alasan ga enak badan lah, capek lah, inilah, itulah, halah! Bilang aja males kerja." Ajeng menendang kaleng bekas ke arah sembarangan. Kaleng itu tak sengaja mengenai kepala seseorang. Seketika orang itu langsung mengelus elus kepala bagian belakang yang terkena tendangan kaleng tadi. Dirinya terlihat berdecak.
"Aduh, kenapa bisa kena kepala orang sih.?" Ajeng menepuk dahinya. Dia berjalan mendekat ke orang itu.
"Bang maap bang, tadi nggak sengaja. Sakit ya bang?" Ujar ajeng saat sudah berada di belakang kepala orang itu.
"Pake nanya lagi! Sakit lah."
"Iya iya bang, maap. Lagian salah Bang karim sendiri duduk di situ, jadi kena kan.."
"Heh bocah! Yang nendang elo kenapa gue yang di salahin. Dasar cewek gak pernah salah"
"Tuh tau. Lagian bang ya, Ajeng itu lagi sebel sama Kak Hilda. Masa Ajeng minta uang buat beli sepatu cuma di kasih gocap. Dapat apaan coba?"
Ekspresi karim seketika berubah setelah mendengar curhatan dari Ajeng. Matanya sedikit menyipit sambil tersenyum miring memikirkan sesuatu. Kesedihan Ajeng yang tidak bisa membeli sepatu itu dijadikan kesempatan oleh Karim.
"Mau sepatu kan?"
Ajeng mengangguk.
"Tenang. Nanti Abang beliin."
"Beneran Bang?"
"Iya bener, dengan syarat.." Karim menggerakkan jarinya sebagai isyarat kepada Ajeng untuk maju sedikit. Kemudian membisikan sesuatu di telinga Ajeng.
"Siap. Gitu doang ma,, kecil" Ucap Ajeng setelah mendengar persyaratan dari Karim.
Karim dan Ajeng bergegas pergi ke sebuah Mall untuk membeli sepatu. Nggak tanggung tanggung, Ajeng meminta sepatu seharga 565.000 kepada Karim. Tentu, dengan senang hati karim memberikan nya, apalagi jika dirinya mengingat perjanjian tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERMAINAN LANGIT
Teen Fiction"Kenapa dokter seringnya berjodoh dengan dokter juga?" "Karena dosisnya sama!" . . . . Dari pada gaje disini, mending langsung aja yuk baca ceritanya. Lets see what will happen ... Baca, dan jadilah pembaca yang setia yang baik yang suka vote yan...