NADA HATI

62 6 3
                                    

Hari itu Bintang mengajakku ke danau. Tempatnya sunyi dan menenangkan. Ada barisan ilalang yang tumbuh liar di tepiannya dan burung-burung kecil beterbangan mengelilingi pepohonan rindang di sekitarnya. Aku dan Bintang berbaring di padang rumput di bawah salah satu pohon itu.

Sambil tidur telentang, Bintang menyenandungkan lagu di sampingku. Banyak dari lagu-lagu itu sangat populer. Pun, tak sedikit pula yang terdengar asing di telingaku.

Aku menutup mata, menggoyangkan kepala ke kanan dan ke kiri tanda menikmati suaranya. Kudapati dirinya sedang menyanyikan salah satu lagu favoritku: Andaikan Kau Datang karya Koes Plus.

"Versinya Ruth Sahanaya menurutku lebih bagus," celetukku.

"Masa? Tapi Koes Plus juga tidak kalah," timpalnya, melanjutkan kembali lirik lagu itu sampai reffrein.


Andaikan kau datang kembali
Jawaban apa yang 'kan kuberi
Adakah cara yang kau temui
Untuk kita kembali lagi?

Bintang ikut memejamkan mata menghayati lagu. Diam-diam aku mencuri pandang. Deg! Debar jantungku menjadi cepat. Dalam posisi sedekat ini, aku khawatir dia bisa mendengarnya.

"Setuju atau tidak," kata Bintang tiba-tiba, menjeda nyanyiannya.

Spontan aku membuang muka, pura-pura tidak sedang memperhatikannya. "Setuju tentang apa?"

"Bahwa setiap orang punya nada hatinya sendiri,"

"Nada ... hati?" gumamku bingung.

"Iya, nada hati. Harmoni perasaan dalam hati." Dia menaruh kedua tangannya di bawah kepala sebagai bantal. "Nadanya indah jika kau senang dan sebaliknya jika kau sedih. Bagaimana menurutmu?"

Nada hati?

Bintang mengubah posisinya. Dia berbaring menyamping, sementara tatapannya melekat padaku menunggu jawaban.

Deg! Debar itu muncul lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam perasaan kikuk.

"Mungkin ada benarnya," kataku akhirnya, memandang balas mata cokelatnya. "nada hati adalah metafora yang bagus."

Bintang tertawa kecil. Kemudian, dia bangkit berdiri dan menepis rumput yang menempel di celana abu-abu SMA-nya. Tak lupa rambutnya yang berpotongan two block dia rapikan ke belakang dengan jemari. Aku yang masih berbaring hanya bisa menyaksikan gerak-geriknya.

"Lapar?" tanyanya. "Ke warung bakso sana, yuk!" Dia menunjuk ke seberang jalan.

"Ayo! Aku ditraktir, 'kan?"

"Hm ... boleh, tapi ada syaratnya."

"Apa?" tanyaku menantang.

"Siapa yang sampai duluan ke warung, dia pemenangnya. Kalau kau menang, aku yang traktir. Tapi kalau aku yang menang, bayar sendiri-sendiri. Bagaimana?"

"Oke, siapa takut!"

"Ya sudah, berdiri." Bintang mengulurkan tangan membantuku berdiri.

"Siap?"

Aku mengambil posisi di sampingnya. "Siap."

"Satu ... dua ..." Dia tiba-tiba lari mendahuluiku.

"Ih, curang!" seruku mengejarnya. "Bintang!"

***

Begitulah.

Sehabis pulang sekolah, danau itu menjadi destinasi favorit kami. Di sana, Bintang sering bercerita banyak tentang minatnya di bidang musik. Kilau semangatnya saat menjelaskan biografi musisi dunia mampu menjalar ke hatiku. Dia memang punya mimpi yang besar.

Nada Hati [Cerpen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang