Balikpapan, Februari 2020
"Gimana dek? Mau enggak ikhtiar lagi? Ikhwan yang satu ini sudah menunggu dari sebulan yang lalu." Suara lembut di ujung telepon menginterupsinya. Entah sudah berapa lama gadis itu terdiam. Sedangkan wanita yang sedang bertanya itu masih sabar menunggu jawabannya, setelah menjelaskan tujuannya menelpon gadis itu.
"Na'am mbak, bismillah ana coba lagi ya." Ia menghela napas pelan. Setelah beberapa lama terdiam, ia menjawab pertanyaan wanita tersebut. Tak ingin mengecewakan murobbiyahnya.
Entah sudah berapa CV taaruf yang ia tolak selama beberapa bulan belakangan ini. Bukan karena calon yang disodorkan padanya tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkannya. Akan tetapi, setelah beristikharah hanya keraguan yang ia rasakan.
"Alhamdulillah, ana kabari ke murobbinya ikhwan yang ini dulu, ya," jawab mbak Hilda seraya tersenyum dibalik teleponnya—murobbiyah gadis itu. "mbak kirim via email ya CV-nya, dibaca dulu sambil shalat Istikharah lagi," lanjutnya.
"Insya Allah, Mbak." Ia mengakhiri percakapannya dengan salam. Kemudian ia berjalan menuju meja kerjanya.
Bila gadis lain terlihat bahagia kala seseorang ingin bertaaruf dengan mereka, hal itu tidak berlaku bagi Syifa. Ada ketakutan yang menghampirinya, tapi ia belum bisa menyampaikan itu kepada siapapun, termasuk orang tua maupun murobbiyahnya.
Tak ingin larut dalam kegelisahan, ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda karena mengangkat telepon tadi. Ia membuat laporan perkembangan hafalan anak didiknya selama satu bulan ini. Membolak-balikkan kertas yang telah dijilid menjadi sebuah buku yang bertuliskan Penilaian Hafalan Juz 30 Kelas Khadijah.
Syifa mulai mengetikan angka yang tertulis pada buku tersebut ke laptop yang ada di hadapannya. Kembali ia menyalakan murottal Surah Ar-Rahman—surah favoritnya. Bertemankan teh hangat yang ada diatas meja, sesekali ia menatap ke jendela dan menyapukan pandangan ke lapangan untuk melihat anak-anak yang sedang bermain.
Ada yang sedang bermain lompat tali di sisi kanan lapangan. Ada pula anak laki-laki yang sedang bermain sepak bola di tengah lapangan. Sedangkan di sebelah kiri lapangan, terlihat beberapa anak perempuan berlari-lari menghindari seorang teman mereka yang sedang ditutup matanya. Posisi mejanya sangat strategis, berada di sebelah jendela. Sehingga ia dapat melihat anak-anak yang sedang bermain. Hal ini dapat sedikit membuatnya melupakan kejenuhan ketika membuat laporan dan keresahan dalam hatinya.
Gadis itu bernama Syifa, sudah setahun lamanya ia mengajar di sekolah tahfidz itu. Sekolah yang tidak begitu besar, namun nyaman sebagai tempat untuk menghafal Al-Qur'an. Hal itu didukung oleh lingkungan sekolah yang teduh. Banyak sekali pepohonan yang berbaris dari gerbang sekolah hingga mengelilingi sekolah. Terdapat pula dua gazebo kecil yang berada di sebelah kanan gedung sekolah. Kemudian kebun kecil di belakang yang digunakan khusus untuk bercocok tanam bagi anak-anak. Ada pohon kedondong, pohon pisang, pohon mangga dan beberapa tanaman obat juga ditanam di kebun yang luasnya tak lebih dari lima ratus meter persegi itu.
Tak lupa kursi-kursi yang terbuat dari batang pohon pun disediakan di bawah pohon mangga, tempat yang sangat nyaman untuk berteduh dari teriknya panas matahari. Tempat ini sebagai spot terbaik bagi anak-anak yang sedang mengulang hafala. Sekolah ini merupakan sekolah khusus bagi anak-anak yang ingin menghafal Al-Qur'an. Sehingga suasananya dirancang sedemikian rupa agar terasa nyaman ketika berada di dalamnya.
***
Sore hari menjelang, didalam sebuah dapur kecil yang hanya berukuran dua kali dua meter itu, seorang gadis yang menggunakan jilbab pendek berwarna biru, senada dengan warna baju santai yang ia kenakan kini. Sesekali mengusap peluh yang saling berlomba-lomba menuruni wajahnya yang putih. Sudah empat puluh lima menit lamanya ia berkutat di dapur membantu seorang wanita paruh baya, yang tidak lain adalah ibu kandungnya, yang ia panggil dengan sebutan 'Umma'.
Sudah menjadi rutinitasnya membantu Umma menyiapkan makan malam. Sepulangnya dari mengajar, ia sempatkan untuk beristirahat sejenak selama tiga puluh menit, lalu melakukan sholat Asar dan kemudian disinilah ia. Membantu Umma membuat makan malam, dengan menu ayam goreng serundeng, sup ayam, tahu tempe goreng dan tak lupa sambalnya. Walaupun menunya terlihat sederhana, kehangatan yang mereka ciptakan satu sama lainnya begitu terasa.
"Fa, nanti tolong dibalik ya ayamnya, Umma mau bikin sambal," titah Umma pada Syifa yang sedang memotong-motong wortel.
"Baik Umma." Syifa mendongak sejenak menatap Umma, kemudian melanjutkan memotong wortel yang sudah hampir selesai.
Setelah itu ia segera memasukkan potongan wortel tadi ke dalam panci yang berukuran sedang dan mengaduknya. Ia biarkan sejenak, lalu beralih membalikkan ayam yang sudah mulai berubah warna.
"Oh iya Nak, kemarin mbak Hilda ada kasih tau Umma, kalau ada lagi yang mau ta'aruf sama kamu. Apa itu benar?" tanya Umma sambil mencuci lombok yang sudah dipisahkan dari tangkainya. Kemudian menaruhnya diatas cobek dan mulai melumatnya dengan menggunakan ulekan sambal yang terbuat dari batu.
"Iya Umma, kemarin mbak Hilda sudah mengirimkan CV itu ke email Syifa," ujar Syifa.
Walaupun mbak Hilda selaku murobbiyah yang jadi perantara dalam taaruf, Umma tetap memantau perkembangan taaruf Syifa. Bahkan beberapa CV taaruf sebelumnya pun, Umma mengetahuinya. Ya walaupun, Umma hanya memantau.
"Jadi, bagaimana? Sudah dibaca CV-nya?" tanya Umma. Gadis itu mengangguk perlahan.
"Sudah, Umma," jawab Syifa tersenyum. Senyumnya yang hangat menatap ke arah Umma yang masih fokus mengulek sambal dan sesekali mencicipi rasanya.
"Lalu, bagaimana hasilnya?" tanya Umma.
"Syifa masih istikharah Umma, belum dapat petunjuk apapun." Syifa mengangkat ayam dari penggorengan, karena warnanya sudah berubah menjadi coklat keemasan yang berarti ayamnya sudah matang.
"Ya sudah, terus minta petunjuk dari Allah ya, Nak. Luruskan lagi niatnya dan banyak-banyak beristighfar. Semoga Allah berikan yang terbaik untuk Syifa." Kembali lagi, Umma tersenyum sambil menatap putri semata wayangnya.
Kini Umma menata sambal yang sudah diulek tadi di atas meja makan yang tak jauh dari posisi mereka saat ini.
"Insya Allah umma, do'akan Syifa agar segera mendapatkan petunjuk dari Allah ya Umma" kata Syifa sambil membawa ayam goreng dan sup ayamnya ke meja makan.
"Itu pasti, Nak. Umma selalu mendo'akan Syifa," jawab Umma seraya mengusap lembut kepala Syifa yang tertutupi jilbab. "ya sudah, panggil Ayah dan Abangmu untuk makan malam." Umma melanjutkan menata meja makan dengan menyusun piring, gelas dan sendok.
Sudah menjadi tradisi di keluarga Syifa untuk makan malam bersama dalam satu meja makan. Mungkin di zaman sekarang sudah jarang keluarga makan bersama di meja makan. Tetapi, keluarga Syifa tetap mempertahankan tradisi itu. Karena banyak sekali manfaat yang diperoleh dengan makan malam bersama.
Salah satunya dapat meningkatkan kebersamaan. Setelah seharian diluar rumah dengan pekerjaan masing-masing, saat di meja makanlah kita bisa berkumpul bersama-sama. Saling bertukar cerita, saling menanyakan kabar pada hari itu, bahkan bisa menjadi momen untuk mencurahkan isi hati. Namun, untuk kalimat terakhir, Syifa terkadang melewatinya. Menurutnya, tak semua hal bisa disampaikan ke orang tuanya. Apalagi yang berhubungan dengan masalah pribadinya. Ia sedikit tertutup, bahkan dengan orang tuanya sekalipun.
***
Assalamu'alaikum!
Salam kenal semuanya, ini cerita pertama saya yang dipublish di Wattpad.
Jangan sungkan memberikan saran dan masukannya ya!
Jazaakumullah Khair^^
KAMU SEDANG MEMBACA
LAFADZ-LAFADZ CINTA
SpiritualTentang Syifa yang memiliki percintaan di masa lalu kurang menyenangkan. Membuatnya tidak lagi percaya dengan laki-laki saleh sekalipun. Hingga bertemu dengan Hanan, laki-laki dengan wataknya yang dingin dan sombong. Namun, ia memiliki sisi baik ya...