1

63 4 2
                                    


"Al jemput gue, nggak ada motor nih!" seru Aca di seberang telepon.

"Kebiasaan ih, kenapa harus gue yang kudu muter kerumah Lo. Mana jauh dan ngga searah gini," gerutu Alissa.

Aca terpingkal, ia tak heran jika sahabatnya yang satu ini hobi mengomel. Tapi ia yakin pasti Alissa bakal on the way ke rumahnya. Jika sehari tak mengomel mungkin saja jam akan berhenti berdetak.

Aca melirik arloji, pukul 14.00 masih beberapa jam lagi ia dan Alisa akan berkeliling mencari souvernir terlucu sejagad untuk disuguhkan kepada para undangan lusa.

Beberapa ide telah tercetus di kepalanya, sebab beberapa waktu lalu ia secara tak sengaja mendapati toko souvernir yang baru saja di buka.

Piittt. Piiiittt. Piiiittt.

Si tukang omel itu seolah-olah mengamuk dengan klaksonnya. Aca pun bergegas keluar. Alissa dengan motor maticnya nyaris memasuki rumah.

"Santuy Neng!"

"Buruan, gue tinggal ntar baru tau rasa Lo."

Aca terkekeh, bagaimana bisa ucapan Alisa bisa dipercaya sedang ia sendiri ke rumah untuk menjemput Aca.

"Omong-omong, rumah Lo sepi amat."

Mungkin kondisi sekitar yang membuat Alisa mengatakan hal demikian. Memang beberapa tetangga telah pindah dan sedang bibi aca sendiri juga telah membeli rumah baru di pinggiran kota.

"Iya nih, kenapa Lo, takut?"

"Ih, enak aja, gue udah ngga selemah dulu ya!" Delik Alissa.

"Seriusan, jadi boleh dong kapan-kapan kita nonton film horor di rumah gue."

Alissa terdiam sejenak, ia tau sahabatnya itu hanya bercanda tapi tetap saja nyalinya ciut. Karena ia tak benar-benar berubah dari dulu perkara menonton film horor. Ia ingat kejadian waktu itu, menangis sejadi-jadinya di sekolah karena di paksa menonton oleh teman sekelasnya. Alhasil ia menjadi trauma belajar di kelas tersebut.

Bayangan mayat yang bergelimpangan dengan leher di gorok, juga beberapa matanya keluar, muka yang dipenuhi darah, serta dada yang berlobang berisi makhluk-makhluk menggelikan. Seketika ia merasa mual mengingat kejadian itu.

"Lo yang bawa, Ca!"

"Kenapa? Takut?"

"Ih, enak aja. Motor gue, yang numpang tahu diri." Balasnya.

Lagi-lagi aca terkekeh, ia meraih pegangan motor lalu menyilakan Alisa pindah ke belakang. Alisa hanya diam, dengan wajahnya yang sedikit pucat.
Angin berembus sedikit kencang sehingga pepohonan sekitar bergoyang seolah-olah seperti monster yang mengangguk.

"Tumben diam aja," ujar Aca.

"Ah, eh, gak apa-apa. Lagi capek ngoceh aja," seru Alissa seraya mendongak.

Mereka telah jauh meninggalkan kawasan rumah Aca bergantikan keramaian ibu kota, kendaraan lalu lalang, klakson bersahut, penjaja es meneriaki dagangannya, kebisingan pun mengembalikan Alisa dari ketakutannya.

"Tokonya sebelah mana sih?" tanya Alisa penasaran. Beberapa menit mereka hanya sibuk menyelinap memotong kendaraan yang keluar masuk pasar.

"Sabar."

"Udah beda banget ya sekarang, warung mienya pindah kemana Ca?"

"Enggak tau, mereka ngga pamitan sama gue!"

Aca mencubit pinggang sahabatnya yang bicara sekenanya.

Ia sempat berencana akan menyantap mie ayam yang beberapa tahun terakhir ini tak pernah dicicipinya. Tapi urung. Biasanya setiap pulang sekolah Alissa dan Aca juga teman-temannya yang lain menyempatkan diri di sana setelah itu berkeliling pasar melihat barang-barang keluaran terbaru.

RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang