Terdengar, terlihat, betapa asyiknya gemerlap lampu kota Jakarta bersamaan dengan lalu lalang kendaraan. Berisik, hanya polusi saja yang dikeluarkan.
Bunyi klakson mobil terdengar dimana-mana, sampai-sampai lampu rambu lalu lintas tak ada gunanya. Mungkin akan lebih berguna jika lampu tersebut digunakan untuk memancing ikan paus, andai itu bisa tapi nyatanya tidak mungkin.
Lebih asyik lagi jika ada segerombolan mahasiswa yang tawuran di tengah riuh kendaraan itu di saat-saat tengah malam dan polisi menutup panca inderanya, seolah tak mengerti apa yang terjadi. Musnah sudah moral dan akal mereka, menjadi satu kesatuan gejala kiamat.
Bisa saja dunia ini akan di artikan sebagai tempat perang para sesama manusia yang mementingkan emosi individu daripada kerjasama untuk bisa saling melengkapi, berdamai dan ada rasa satu keterikatan menjadi manusia bersosial, bukan berpotensi untuk menghancurkan akal.
Untung saja semua hanya khayalan dari sosok laki-laki yang duduk di atas kursi istimewa miliknya. Dengan ditemani rokok serta kopi panas, di rumah pribadinya yang sangat besar hasil kepintarannya.
Sukses adalah bagian dari hidupnya, hanya saja dia kesepian akan hati. Sudah lama, Rey tak mempunyai seorang kekasih. Bagaimana kekasih? Teman wanita saja hanya sebatas teman seperagamanya. Dia hedonisme, Jika dia butuh wanita, dia tinggal mengambil handphone-nya lalu pesan, seperti menelpon ke restoran cepat saji, dan diantarkan.
Hedonisme, ajaran yang mementingkan dunia, mempunyai Tuhan tetapi tak ada kewajiban untuk menyembah disuatu tempat dan harus ramai-ramai. Cukup mengingat saja bagi mereka, yang penting status punya Tuhan. Aneh memang, tapi itu yang dijalankan Rey selama 21 Tahun lamanya.
Sejak kecil, Rey tidak mengerti Agama. Orang tuanya tak pernah mengajarkan apa itu Tuhan, atau agama seperti Kristen, Islam, Budha atau yang lain. Dia hanya tau saat pelajaran sekolah saja, dia dapat pelajaran mengenai Islam, tetapi dia selalu membolos jika ada pelajaran tersebut. Menurutnya,
“Mengapa sih harus belajar agama, orang tuaku saja ngga pernah beribadah.”
Karena itulah sampai saat ini, Rey tak punya yang namanya Agama.
“Kenapa harus punya agama? Ribet !. Harus kesini jam segini, jungkir balik, komat kamit, baca kalimat yang bukan bahasa yang aku mengerti. Saya bahagia-bahagia saja walaupun tak ada Agama, lalu aku harus menganutnya? Buang-buang waktu !”
Rey menghisap rokoknya dengan keras, merasakan indahnya hidup tanpa beban. Memejamkan matanya, lalu berbisik
“Serasa di syurga, damai, tak ada yang mengganggu.”
Rey sangat menikmati malam ini, dia telah menang judi di salah satu bar terkenal di pojok kota. Dia menghela nafas, serasa ada yang kurang malam ini. Tak ada yang menemani disampingnya? Oh bukan. Dia meraba-raba saku, mencari sesuatu.
“Oh shit !! barang gue abis.”
Lalu dia turun ke bawah, ke garasi menaiki mobil Mercedes miliknya menuju tempat dimana dianggap rumah ke-2 baginya. Dengan kecepatan penuh Rey mengemudi, namun dia terjebak di antara khayalan sebelumnya. Macet !. Malam, tengah malam tapi di sekitar rumahnya adalah daerah yang jika malam seperti siang. Entah kenapa bisa begitu, mungkin karena penyakit insomnia gampang ditemukan disana. Sama halnya aktifitas orang-orang bule, bedanya di Eropa sana adalah siang tapi di Indonesia adalah malam. Ya begitulah, sampai saat ini belum ditemukan apa penyebab yang pasti dengan penyakit Jakarta yang terbalik suasana yang dirasakan Rey sekarang.Tidak, bukan hanya Rey.
“Hei, cepat !.”
Teriak Rey kepada pengemudi lain. Dia memang tak pernah bisa untuk bersabar. “Tiiit... tiiit...tiiit...” Namun pengemudi lain juga merasakan hal yang sama seperti Rey. Dia keluar dari mobilnya, menghampiri mobil Rey.
“Hey, keluar loe!”
sambil menggedor-gedor kaca mobil Rey, lantas Rey-pun keluar.
“Apa-apaan loe!”
Baaak, pukulan melayang ke ulu hatinya. Rey merintis kesakitan, lalu tak sadarkan diri.
****
Pagi, di rumah sakit umum Jakarta Selatan. Mata yang lelah mulai sedikit demi sedikit terbuka. Rey merasakan sakit disetiap tubuhnya sesudah tadi malam dia di keroyok karena seseorang yang tidak bertanggung jawab.
Siapa yang membawanya ke rumah sakit?. Alangkah baiknya orang tersebut, Rey harus berterimakasih padanya. Tapi, mana orangnya? Rey hanya terbingung, berbaring, menatap sekitar ruangan.
Bukan hanya dia saja yang merasakan sakit, puluhan orang terluka disana. Dia tak tau apa yang terjadi,
“Sebenarnya apa yang terjadi tadi malam?”
Rey berkata pada hatinya, sayangnya hatinya tak bisa menjawab semua kebingungan yang dirasakan Rey pagi ini. Terlihat suatu keluarga menangis hebat, menandakan seseorang telah meninggal dunia. Sebenarnya apa yang terjadi? Bukankah dia orang yang memukul Rey tadi malam?. Rey mencoba berdiri, mendekatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
4 Agama Berbeda
Non-FictionMenceritakan bagaimana kisah 4 orang manusia beda agama, dan saling mempunyai sebuah pertanyaan tentang hidup ini. Rey (hedonisme), "Kenapa harus punya agama? Ribet !. Harus kesini jam segini, jungkir balik, komat kamit, baca kalimat yang bukan baha...