“Sering kali hanya karena sebuah perasaan, membuat kita buta akan hubungan persahabatan.”
∞∞∞
Matahari mulai beranjak turun kembali ke peraduan. Berkas-berkas cahayanya masuk ke sela-sela jendela perpustakaan dengan sinar jingga yang menyilaukan. Sinarnya jatuh mengenai tumpukan buku dan kertas di atas meja yang berserakan.
Bel pulang sekolah telah berbunyi sejak satu jam yang lalu, namun seorang laki-laki berseragam putih abu-abu dengan lengan yang di gulung hingga siku itu masih bertahan dalam posisinya yang berada di pojok ruangan.
Tangannya sibuk menulis di kertas cakaran dengan asal, sedangkan tatapan matanya kosong melihat ke arah tumpukan soal yang dibiarkan menganggur sejak ia datang.
"Masih di sini lo?" tanya seseorang tiba-tiba. Suara bariton itu berasal dari pintu masuk perpustakaan.
Derap langkah yang kian mendekat membuat tubuhnya menegang. Tangan yang sempat sibuk menulis asal, kini berhenti sepenuhnya. Kepalanya ikut menoleh ke asal suara.
"Kenapa?" jawabnya cuek seolah tak merasa terganggu dengan kehadiran orang itu.
Laki-laki yang masih dibalut seragam futsal itu berdecak sinis kala melihat orang di depannya terlihat biasa saja.
"Gue pikir lo beneran alim seperti yang orang-orang pikir, gak taunya lo sama aja kaya cowok kebanyakan. Sama-sama brengsek, Ham."
Mendengar dirinya diejek membuat tangannya langsung meremas pulpen yang ia genggam. Beruntung kegiatannya itu tak disadari oleh lawan bicaranya.
"Maksud lo gimana?" tanya Abraham setenang mungkin.
"Jangan pura-pura gak ngerti, Ham. Sini, selesaiin pakai cara cowok, jangan kaya cewek lo!" tantangnya dengan menarik kerah seragam Abraham kasar.
Tubuh Abraham yang tak siap menerima serangan tersebut langsung terangkat dengan mudah. Lehernya terasa sesak karena cekikan tak langsung yang diberikan oleh laki-laki itu.
Kini keduanya berdiri saling berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Abraham dapat melihat kilat amarah menyelimuti manik mata lawan bicaranya. Namun, sebisa mungkin ia menahan diri agar tidak memperkeruh suasana.
"Lo aneh. Tiba-tiba datang, terus marah ke gue. Bukannya lo yang lebih kaya cewek?" tanya Abraham kalem.
Tanpa ia tahu, ucapannya itu justru semakin memicu amarah lawan bicaranya.
"Gue udah bilang sama lo. Jangan dekati Mili kalau lo memang gak ada rasa sama dia," ucapnya penuh penekanan.
Abraham tersenyum miring. Mendengar nama perempuan sekelasnya itu disebut, dia jadi mengerti ke mana arah pembicaraan laki-laki itu. "Gue gak pernah dekati Mili."
"Tapi lo udah buat dia nangis, brengsek!" berangnya seraya menarik kerah Abraham semakin kuat.
Abraham menahan tubuhnya yang terasa sesak. Laki-laki di depannya ini benar-benar seperti orang kesetanan.
Ruang perpustakaan yang semula hening, kini menjadi gaduh karena teriakannya. Beruntung di ruangan ini hanya tersisa mereka. Guru penjaga perpustakaan sudah pergi ke ruang guru lebih dulu dan menitipkan kunci ruangan ini pada Abraham.
"Lepas," ucap Abraham dingin sambil melepas paksa tangan laki-laki itu dari kerahnya.
Namun, kekuatan Abraham tak sebanding dengan laki-laki yang masih mengenakan pakaian futsal itu. Dia merasa kesulitan. Cengkeraman itu sangat kuat.
Abraham jadi harus mendorong tubuh laki-laki itu sepenuh tenaga agar bisa terlepas. Napasnya tersengal-sengal. Mukanya memerah karena hampir saja kehabisan napas.
Sejak tadi dia berusaha untuk menahan diri agar tidak meninju atau melawan laki-laki di depannya ini dengan kasar. Mengingat hubungan mereka yang bukan sekadar teman.
Namun sial, bukannya mengerti keadaan, laki-laki itu justru meninju pipi Abraham hingga Abraham terhempas menabrak meja di belakang. Tumpukan kertas soal dan buku yang ada di atasnya langsung jatuh berhamburan. Suara gaduh kembali meramaikan ruangan.
"Sekali lagi lo buat Mili nangis, gue gak akan segan-segan buat lo lebih buruk dari ini," ancam laki-laki bemata sipit di depannya.
Abraham meringis merasakan pipinya yang berdenyut. Tangan kirinya langsung mengelus bagian itu, sedangkan tatapan mata elangnya ditujukan pada laki-laki di hadapannya.
"Gue tahu lo suka Mili, tapi jangan sampai gara-gara perempuan, persahabatan kita jadi rusak kaya gini," ujar Abraham susah payah.
Ingatkan dia bahwa mereka masih bersahabat. Abraham pikir, mereka bisa menyelesaikan dengan cara yang lebih baik daripada berkelahi seperti ini, tapi sepertinya, sosok di depannya ini sangat tak sabaran.
"Gue gak peduli. Di mata gue, selama lo nyakitin Mili, lo sama aja brengsek," cecarnya tak peduli.
Abraham mendekati laki-laki itu dengan langkah terseok-seok. "Gue gak nyangka persahabatan lo selemah ini," desisnya pelan membuat sosok yang telah meninjunya ini menatapnya penuh amarah.
Rahang laki-laki itu mengeras. Tubuhnya berbalik dan melangkah keluar. Suara debuman pintu menandakan kepergiannya yang masih menyisakan kesakitan.
Abraham kembali terduduk lemas dengan bersandar di kaki meja sembari menatap pintu perpustakaan yang tak bersalah itu baru saja terkena siksaan juga.
Haloo!
Selamat datang buat pembaca baru!
Buat yang baru tahu aku, bisa mampir ke instagram @coretanfika untuk kenalan lebih lanjut. Hihi.
Nice to meet you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Hingga
Teen Fiction[Event 100 Days Challenge Writora 2021] Menurutmu, apa yang lebih menyulitkan daripada mencintai seseorang dalam diam? Bagi Abraham, jawabannya hanya satu, yaitu mencintai seseorang yang harus melintasi perbedaan kepercayaan. Pilihannya hanya ada du...