3. Ayo Kita Pacaran

614 90 10
                                    

Seokjin kembali teringat akan pepatah lama yang mengatakan "orang berdosa tidak akan tidur tenang". Setelah menumpahkan segala kekesalannya pada dokter yang tidak tahu sopan santun itu, Seokjin merasa dirinya lebih tenang dan kini ia kembali ke aktivitasnya sehari-hari. Itulah yang ia rasakan sebelum melihat tas belanjaan besar yang terletak di atas meja pendek di kamar lotengnya. la semakin terkejut ketika melihat nama perusahaan yang tertulis di bagian luar tas belanjaan tersebut.

<Anda adalah bagian dari keluarga kami. Walden Ho-su Haniwon>

Keluarga? Seokjin yang minggu lalu marah-marah dan pergi meninggalkan Haniwon itu mengecek isi tas belanjaan itu dengan hati-hati. Tidak mungkin kan, kalau dokter itu sengaja mengirimkan mainan yang aneh-aneh untukku untuk balas dendam? Namun untungnya ternyata tas itu berisi berbagai obat-obatan.

"Apa ini?"

"Mana aku tahu. Memang bukan kau yang pesan?"

Ibunya kembali bertanya dengan heran ketika melihat Seokjin bersusah payah membawa tas belanjaan itu turun. Tatapan keluarganya yang tengah berada di ruang tamu tiba-tiba tertuju padanya.

"Oppa, memangnya Oppa mau menjadi sehat seperti apa lagi, sampai harus meminum obat sebanyak itu. Sekarang pun badan Oppa sudah terlihat cukup kuat."

"Kelihatannya kuat bukan berarti bertubuh sehat."

Seokjin mengerutkan keningnya dan menjawab dengan ragu ketika ia menimpali Jang Mi yang memandangnya heran. Saat ini, yang menjadi masalah bukanlah ucapan kasar Jang Mi yang sudah akrab di telinganya, melainkan bungkusan-bungkusan obat yang tidak jelas ini. Bisa saja obat ini beracun.

Dokter itu tidak mungkin berbuat bodoh dengan mengirim obat beracun secara terang-terangan seperti ini. Sepertinya tidak mungkin jika rumah sakit itu menggunakan informasi kartu kreditku untuk menipuku melalui penjualan paksa obat-obatan ini. Lantas, mengapa obat-obatan ini bisa sampai di sini? Apa yang membuat dokter kurang ajar itu mengirimkan obat-obatan ini padaku? Seokjin mulai merasa menyesal, seharusnya ia keluar dengan tenang dan diam saja ketika di rumah sakit saat itu.

Kenapa tubuhku selalu bereaksi lebih cepat daripada otakku?

Seokjin menggelengkan kepala sambil menatap bungkusan obat itu. Kemudian ia membuka jendela di kamar lotengnya. Angin berembus pelan dan masuk mengenai kulitnya. Masih terasa sedikit dingin, namun Seokjin rasanya tidak ingin menutup jendela kamarnya. Dari jendela yang terbuka itu, terdengar pelan suara orang-orang yang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Suara anjing menggonggong, obrolan beberapa orang, dan mobil yang melintas.

Seokjin menggosok-gosok lengannya sendiri yang kedinginan dan seolah teringat akan sesuatu, ia menempelkan bibir ke lengannya. Hawa hangat dari bibirnya seolah tersebar ke seluruh tubuh. Seokjin spontan melihat ke sekelilingnya, seolah takut ada orang lain yang melihat, ia lalu segera menutup jendela kamarnya.

Astaga, Kim Seokjin. Kau memang tidak punya pacar sekarang, tapi apa-apaan yang barusan kau lakukan tadi? Kau gila rupanya. Ah tidak, atau mungkin kau memang ingin melakukannya, ya? Seokjin berdiri terpaku di tengah kamarnya. Ini semua gara-gara Lee Jae Hwan!

.
.

Keesokan harinya, Seokjin perlahan bangun setelah tadi malam melemaskan otot-otot tubuh di tempat bermain fencing. la lalu memandang ngeri ke arah bungkusan obat tradisional yang berada di tengah mejanya. Sabtu sore, pukul tiga. Rumah sakit tersebut belum tutup pada waktu itu. Seokjin merasa ia perlu membereskan bungkusan obat yang tidak jelas itu secepatnya, daripada harus tetap menyimpannya selama akhir pekan. Entah mengapa, tulisan ‘Anda adalah bagian dari keluarga kami’ yang tertempel di luar tas itu terasa menyeramkan. Menjadi keluarga dengan rumah sakit yang penuh dengan jarum dan penyakit berbahaya itu? Meskipun bukan ucapan yang mendoakannya untuk selalu sakit setiap hari, tetap saja Seokjin ingin menghindari rumah sakit tersebut.

OLD STORY | KOOKJINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang