5. Takdir Batu, Gunting, Kertas

617 82 15
                                    

Sepagi apa pun ia bangun, tetap saja ia keluar rumah di waktu yang sama. Meskipun ia terlambat bangun sekalipun, ia selalu berhasil mengejar kereta bawah tanah dengan waktu yang sangat pas-pasan. Karena berbagai pikiran memenuhi kepalanya tadi malam, Seokjin menulis beberapa cerita pendek dan memikirkan mengenai proyek rumahnya semalam. la akhirnya terbangun saat mendengar suara terakhir alarmnya.

Seokjin yang tidak ingin datang terlambat hari itu segera bersiap-siap. la berlari melompati tangga di Stasiun Daehwa. Begitu berhasil duduk di dalam kereta, ia segera memperhatikan sekelilingnya. Untung saja pria itu tidak terlihat. Lagi pula, ia pun sebenarnya tidak tahu di mana dokter gila itu naik dan turun dari kereta.

Akan tetapi, ada satu hal yang Seokjin tahu pasti: ia tidak boleh tertidur kali ini.

Dalam hati Seokjin bertekad seperti itu. Namun entah mengapa, ia selalu merasa sangat mengantuk seolah mendengar lonceng Pavlov, setiap ia naik kereta bawah tanah ini. la berusaha mencari alasan yang masuk akal dengan berpikir, pasti ini karena udara di dalam kereta yang tidak segar.... Namun sepertinya alasan itu tidak cukup memuaskannya.

(Lonceng Pavlov: sebuah metode ciptaan Ivan Pavlov menggunakan lonceng sebagai stimulus untuk mengendalikan respon dari subjek penelitiannya (anjing).)

Dalam hidup ini, takdir kadang bisa menjadi sesuatu yang sangat menyebalkan. Selain itu, kebiasaan buruk juga biasanya ikut 'memanaskan' permainan takdir ini. Seokjin rasanya tertidur sekejap saja. Pemuda yang sempat merasa senang untuk sejenak, karena ada seseorang yang menyandarkan kepalanya di pundaknya, segera membuka mata. Begitu ia sadar siapa 'seseorang' itu, kantuknya hilang seketika. Seperti dugaan Seokjin, pria itu sudah duduk di sampingnya. Oh, my, God!

"Kenapa kau bisa duduk di sebelahku? Apa ini juga kebetulan?"

"Yang benar saja. Tadi aku sudah minta tolong pada wanita yang duduk di sebelahmu. Kubilang saja kalau kebiasaan tidur kekasihku itu sangat berbahaya. Jadi aku akan sangat berterima kasih jika ia mau memberikan tempat duduknya padaku."

Jungkook menggeleng malas, mendengar pertanyaan Seokjin yang penuh curiga itu.

"Lalu, apa wanita itu memberikan tempat duduknya begitu saja?" Seokjin berbisik pada pria itu karena merasa orang-orang di depan mereka sedang menguping pembicaraan mereka. Seandainya mereka ingin meneliti hubungan seorang pria tampan dengan pemuda yang tertidur di kereta sambil meneteskan air liurnya, Seokjin sama sekali tidak tertarik untuk memberikan bantuan.

"Aku juga bilang kalau wanita itu bisa saja harus rela kehilangan uang laundry karena duduk di sebelahmu. Karena tadi ia mengenakan baju sutra yang mewah."

Pria itu pun menyahut sambil berbisik pelan di telinganya. Seokjin merasa pusing dengan embusan napas hangat dan wangi aftershave pria itu.

Sadarlah, Kim Seokjin.

"Sungguh seperti itu?"

"Ya."

Seokjin kembali bertanya dengan suara normal dan pria itu hanya mengangguk seolah tidak ada apa-apa.

"Sial."

"Wah, kau pandai mengumpat juga rupanya."

Pria itu kembali berbisik pelan pada Seokjin, entah apakah ucapannya itu pujian atau hinaan. Lalu, Seokjin pun kembali pusing dengan embusan napas dan wanginya itu.

Aaargh, sadarlah, Kim Seokjin!

.
.

Kereta yang mereka naiki berlalu dengan suara bising. Rumah sakit pria itu ternyata berjarak satu stasiun dari kantor Seokjin. Meskipun tidak tahu pasti mengapa pria itu turun di stasiun yang sama dengannya, Seokjin sedikit salah paham mengira alasannya adalah karena dirinya.

OLD STORY | KOOKJINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang