4. Kim Seokjin Yang Baik Hati

561 81 27
                                    

Di hari pertemuannya dengan dokter gila itu, Seokjin sudah sibuk sejak pagi. Karena harus presentasi, ia terpaksa harus mengenakan baju setelan kantor, termasuk celana bahan yang biasanya tidak pernah ia pakai. la juga harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tajam sambil tetap menjaga ekspresi wajahnya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya dengan tergesa-gesa, Seokjin akhirnya tiba di sebuah tempat pertemuan yang dipilih oleh dokter itu. Di pintunya yang besar dan mewah itu saja seolah bertuliskan "ini tempat mahal". Seokjin mengernyitkan dahi. la tahu betapa mahalnya harga makanan di restoran ini karena pernah beberapa kali melewatinya.

"Apa ini tidak keterlaluan? Tempat ini kan mahal sekali."

"Tapi tidak mungkin lebih mahal dari baju Armani-ku, kan? Oh iya, ini juga sudah kukurangi dari harga ganti rugi atas kekerasan yang kau lakukan di toilet malam itu. Karena aku cukup baik hati."

Seokjin tidak bisa berkata apa-apa menanggapi ucapan yang dibuat-buat itu. Sial. Mengapa orang yang pergi ke kantor dengan baju Armani itu masih saja naik kereta? Tidak. Memang aku yang salah karena ketiduran di toilet. Lalu, alkohol itu memang musuhku.

Interior restoran yang terlihat mewah itu penuh dengan perabotan yang berkualitas tinggi. Seokjin yang memang ahli di bidang itu pun sampai terkejut melihatnya. Mulai dari lantai marmer, lampu, dinding sampai wallpapernya. Toko ini memang toko yang berinvestasi tinggi untuk menata interiornya. Jelas restoran ini pun tidak ragu mengeruk para tamunya untuk ikut "berinvestasi" di tempat ini.

"Kau sengaja ingin makan sebanyak-banyaknya di tempat ini, kan?"

"Tentu saja. Mumpung ditraktir, tentu saja aku harus maka enak dan mahal sebanyak-banyaknya."

Seokjin berdecak pelan melihat ucapan dokter yang percaya diri dan tidak tahu malu itu.

"Yah, memang orang yang merasa hebat tingkahnya suka lebih keterlaluan."

"Apa kau bilang?"

"Tidak."

Astaga. Kupikir aku hanya bicara dalam hati, ternyata sampai keluar dari mulutku.

Menu makanan yang tidak mencantumkan harga itu benar-benar sesuatu yang menakutkan bagi Seokjin. Bukankah paling tidak ia harus tahu harganya agar bisa memesan makanan ini?

"Orang yang tidak tahu balas budi itu bukanlah manusia. Lebih payah dari burung Murai."

"Burung Murai? Bukannya burung Walet?"

"Kau tidak tahu kisah tentang burung Murai yang membayar utang budi?"

"Baiklah, baik. Aku mengerti."

Pria itu berbicara seolah sedang mengajari anak SD dan Seokjin akhirnya mengalah dengan sebal. Kali ini ucapan pria itu memang benar. Dokter itu memang tingkahnya menyebalkan, namun jelas dirinya berutang budi padanya. Orang yang tidak tahu balas budi itu bukanlah manusia. Akan tetapi, ketika pria tersebut dengan santainya mengatakan berbagai pesanannya pada pelayan yang berpakaian setelan hitam rapi itu, Seokjin rasanya ingin melupakan utang budinya sejenak.

Wine dari Prancis yang entah apa namanya, menyebutnya namanya saja Seokjin tidak bisa; salmon panggang yang dilengkapi dengan saus krim dan salad daging kepiting; sup jamur Morel. Mendengar namanya saja, Seokjin bisa membayangkan betapa mahalnya harga makanan tersebut. Apalagi pria itu ikut memesankan makanan juga untuk Seokjin dengan wajah yang terlihat sangat bahagia.

Ah, biar sajalah kalau memang sudah seperti ini. la merasa agak sedikit tenang dengan kartu kredit yang ada di dompetnya. Lagi pula, tidak ada cara lain selain menikmati makanan yang sudah dipesan itu. Entah apa karena ia sudah bertekad seperti itu, makan malamnya dengan pria tersebut terasa cukup lancar dan menyenangkan. Kadang pria itu berbicara dengan banmal padanya, namun kelihatannya ia berusaha agar tidak melewati batas. Seandainya saja pria itu bersikap seperti ini padanya sejak awal, mungkin Seokjin tidak perlu mentraktirnya makanan semahal ini.

OLD STORY | KOOKJINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang