O3 | sarung tangan

51 22 22
                                    

"Sekar."

"Akh."

Hampir saja, sepersekian detik jika San terlambat, mungkin buku tebal itu akan jatuh menimpa kepalanya.

Gadis yang dipanggil menyahut, membalikkan tubuhnya dan mendapati San yang tengah berdiri dibelakangnya, juga untuk menaruh buku yang baru saja jatuh tersebut ke atas.

Bilik pengetahuan kembali dikunjungi olehnya. Semata-mata untuk menimba ilmu. Belakangan tidak mempunyai waktu hanya untuk sekedar membaca buku fiksi biasa sebagai bentuk peristirahatan.

Dirinya tengah memusatkan indera penglihatannya hanya untuk mencari buku mata kuliah yang selalu berhasil membuatnya terjaga, yakni Kimia Sintesis, mata pelajaran yang sangat menyusahkan. Namun atensinya teralihkan kala pemuda itu menyebut namanya. Sepertinya kali pertama juga bagi San memanggil dirinya dengan nama panggilan.

"Astaga kau mengejutkanku," ujarnya, yang dilihat hanya menatapnya tanpa ekspresi.

Entah tanpa ekspresi, atau memang dia yang tidak pandai untuk mengekspresikan.

"Namamu terdengar asing." San memundurkan langkahnya untuk memberi jarak antara mereka berdua.

Sekar kembali membalikkan tubuhnya, mencari modul pembahasan mata kuliah tersebut. Nama yang ia miliki memanglah tidak seperti nama pemilik warga negara Ginseng pada umumnya, hanya dengan sekali mendengar, orang-orang pasti langsung mengetahuinya. Kesalahan San ialah seharusnya ia menanyakan pertanyaan itu disaat mereka berkenalan, disaat Sekar menyebutkan namanya.

"Karena aku tidak lahir disini? Sepertinya begitu."

"Lalu, darimana asalmu?" Bukan urusannya, namun keingintahuan seketika menghampiri.

"Negara ASEAN. Mengejutkan bukan?"

San berdeham, "Tidak terlalu."

"Ketemu." latah Sekar kala buku yang menjadi pengejarannya ditemukan "San tolong ambilkan!" serunya, menunjuk deretan buku bagian atas.

San menurut, ia segera mengambil buku yang dimaksud dan lantas memberikannya pada Sekar.

Sekar membuka bukunya dan berjalan, begitu pula San yang mengikuti.

"Ibuku berasal dari Singapura, sedangkan Ayah asli dari sini," Sekar menahan ucapannya guna membaca sebaris dari modul pembahasan itu "aku lahir disana, lalu mereka pindah kemari disaat umurku masih 1 bulan."

"Bagaimana mereka berdua bisa bertemu?"

Mereka sampai di meja barisan belakang, pertanyaan itu sukses membuat Sekar menatapnya tidak percaya. Pikirnya, untuk apa orang lain ingin tahu kisah kedua orang tuanya disaat dirinya tidak ingin tahu.

"Kau yakin ingin mengetahuinya?"

Ia mengangguk.

Sekar menghela nafas dan duduk di kursi biasa. Lain halnya San, yang juga menyisakan satu kursi dipojok sebelah kanan sehingga berseberangan langsung dengan Sekar.

"Entahlah, aku juga tidak mengetahuinya. Tapi mungkin adikku tahu."

"Kau punya adik?"

Sekar mengangguk "Sebentar. Kau sedang menginterogasiku atau bagaimana?"

"Aku hanya ingin tahu tentangmu."

"Apa untungnya bagimu?"

"Kau sudah mengetahui tentangku."

Sirat kebingungan muncul pada reaksi wajah Sekar. Mereka hanya bertemu seminggu sekali tepat pada hari Kamis, artinya ini hanyalah pertemuan ketiga mereka selama tiga minggu pertama. Lantas baginya, pemuda itu tidak pernah memberitahukan latar belakangnya pada orang asing yang hanya dapat ia temukan di perpustakaan.

"Tentang apa? Rasanya tidak pernah?"

"Aku tidak menyukai malam," ucapnya tegas.

Gadis itu terdiam. Nada suaranya menyiratkan makna yang sulit dipahami. Seakan itu adalah hal yang penting jika kau dapat memahaminya suatu hari nanti.

Entah bagaimana caranya, San seakan menggunakan pernyataan itu untuk menuntut pernyataan dari Sekar. Ia tak ingin terbawa suasana, namun sepertinya ada aliran di dalam tubuhnya yang mengalir tanpa ia sadari.

"Entahlah, rasanya aku seperti anak anjing yang selalu menurut pada aturan mereka, padahal disatu sisi aku tahu bahwa adikku menempati posisi pertama dalam urusan kasih sayang."

"Anak anjing?"

Sekar mengangguk.

"Penurut, teman mereka, dan selalu bersifat sebagai pelindung."

Suasana terbalik, kali ini San yang terdiam. Memikirkan sesuatu yang entah apa menjadi pikirannya.

Selama beberapa menit San tak kunjung bersuara, Sekar merasa resah akan hal itu.

"Kau tidak berniat untuk mengasihani diriku, bukan?"

San menegakkan tubuhnya lalu menggeleng, "Tidak."

Seharusnya buku yang tengah berada di sela sela tangannya ini menjadi atensi utama Sekar dibandingkan lelaki aneh yang berada diseberangnya. Seharusnya ia tidak menyia-nyiakan waktu beberapa menitnya untuk membicarakan hal yang tidak ada gunanya, apalagi disaat dia harus mengikuti ujian susulan karena tidak dapat ikut ujian pada hari sebelumnya.

Kepalanya seakan ingin meledak, namun Sekar tidak akan membiarkan itu terjadi, jerih payahnya harus terbayarkan suatu saat nanti.

Perumpamaan hasil tidak akan mengkhianati usaha benar adanya, usaha tidak selalu bersifat memuaskan tidak pula selalu mengecewakan, namun usaha yang dikerjakan dengan tulus, tentu akan mendapatkan hasil yang baik pula. Terkadang sesuai dengan apa yang telah dipertaruhkan, mau itu waktu ataupun uang.

Maka dari itu keheningan antara mereka yang terjadi selama hampir setengah jam ini Sekar isi dengan berkutat kembali pada baris demi baris pengetahuan yang tertulis di dalam buku.

"Sebenarnya apa yang kau baca sampai se-fokus itu?" San kembali bersuara, dengan rasa penasarannya.

"Modul Kimia Sintesis, aku harus memahami bab ini untuk ujian susulan besok."

"Kenapa susulan?"

"Ada kendala untuk memasuki kelas kemarin," jawab Sekar dan setelah itu dering ponsel tanda adanya panggilan masuk milik San menggantikan sahutannya.

Ia berdiri lalu berjalan menjauh untuk berbicara dengan orang yang telah menjadi alasan ponselnya berdering pada jam setengah 9 malam seperti ini.

Melihat hal itu, Sekar menghentikan aksinya. Matanya tertuju lurus pada punggung San diujung sana yang sedang membelakangi dirinya.

Kalau dilihat-lihat, porsi tubuh lelaki itu sangat bagus. Walaupun terlihat jangkung, setidaknya tinggi badannya terlihat serasi.

Yang selalu dipertanyakan namun tidak berani diutarakan oleh Sekar adalah, San selalu menggunakan sarung tangan yang sama seperti hari dimana Sekar bertemu dengannya.

Sarung tangan rajut dengan warna abu abu. Bukankah itu terlihat panas? Apa tidak rumit membuka halaman demi halaman buku yang ia baca? Seperti sebelumnya, walaupun tidak disebutkan, yang ia kenakan pada tangannya itu juga senantiasa menemaninya minggu lalu.

Terlihat bahwa ia sudah mengusaikan panggilannya dengan orang yang ada diseberang telepon miliknya, pada kala itu juga, Sekar membuyarkan pertanyaan tidak penting yang datang mengelilingi isi kepalanya.

"Aku akan pergi. Sampai jumpa," ujar San ketika buku pinjamannya telah berada dalam genggaman.

"Aku tebak kau akan datang kembali pada hari Kamis."

San mengangguk, dan tersenyum "Benar"

Kemudian ia benar-benar berlalu menuju pustakawan sebelum pergi meninggalkan perpustakaan.

.
.
.

tacenda, choi sanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang