O5 | jari

31 14 29
                                    

"Kau tidak membawa temanmu hari ini."

San mengangkat bahunya dengan tak acuh. Terlalu tak acuh sampai tidak menanggapi ucapan Sekar dengan ucapannya pula.

Menurut Sekar gaya berpakaian San hari ini terlihat keren sekali, tak seperti pakaian biasa yang ia kenakan sebelumnya. Ah tidak, pakaiannya adalah kemeja polos biasa yang selalu ia masukkan ke dalam celana, yang membuatnya tampak berbeda ialah model rambutnya.

Biasanya rambut itu tertata rapi walau tetap menjuntai sedikit ke dahi bagian depan, sedang kini rambut itu terlihat sedikit berantakan, pula membentuk poni yang menutupi seluruh permukaan dahi.

Jangan lupakan sarung tangan abu-abu yang masih membungkus kedua tangannya. San selalu memakai sarung tangan itu, seakan tidak memiliki sarung tangan dengan model lain juga warna yang sedikit bermakna. Warna abu-abu terlihat seperti ungkapan yang tidak jelas dan sulit diartikan untuk beberapa persepsi.

"San, boleh aku tanya sesuatu?" Sekar bertekad, walaupun ia tidak memiliki keberanian sebanyak itu, setidaknya pertanyaan yang ia miliki harus terjawab jika ingin tidur dengan nyenyak malam ini.

San menaikkan sebelah alisnya seraya menyahuti Sekar, "Kau bisa langsung bertanya jika kau mau."

Hal positif dari penuturan San membuatnya lebih percaya diri, ia memperbaiki postur tubuhnya untuk berdiri dengan tegak menghadap lelaki yang kini bersenderan pada rak di belakangnya, dengan tapak kaki kanan yang ia tempelkan pada rak itu pula.

Sekar mengatur nafasnya, entah mengapa berbicara dengan San terasa lebih memberatkan dibandingkan dengan dosennya sendiri.

"Tidak perlu se-kaku itu, Sekar. Kita berteman pada kehidupan sebelumnya."

Manik mata Sekar menatapnya kebingungan, "Maksudnya?"

"Lupakan." San menutup bukunya dan berdiri dengan tegap, pandangannya ia tundukkan untuk membalas kedua pasang indera penglihat Sekar yang kurang lebih setara dengan tinggi bahunya, "Apa yang ingin kau tanyakan?"

Sorot mata itu turun pada tangan kiri San, seakan dari sorot matanya, San tahu apa yang akan diutarakan.

"Apa tidak panas memakai sarung tangan itu terus?" Sekar sedikit menunjuknya dengan jari telunjuk. Ia tahu bahwa seharusnya ia langsung pada intinya, jujur saja mulutnya terasa sangat berat, entah sihir apa yang sudah memberatkan kebiasaan berbicaranya sehingga menjadi orang yang tidak enakan.

"Kau penasaran kenapa aku selalu memakai sarung tangan?" Telak San.

Sekar menatapnya tidak percaya karena berhasil masuk ke inti, ia menganggukkan kepalanya.

Pemuda itu menaikkan tangan kanannya, mengulurkannya pada Sekar dengan posisi punggung tangan menghadap ke atas. Sekar berusaha mengerti sebelum San memberikannya jawaban. Namun tetap saja, otaknya masih sulit untuk mencerna.

Selama beberapa menit San tidak kunjung berbicara, Sekar angkat suara.

"Ada apa?" Tak luput pula dengan sorot mata yang setia terpusat pada tangan kanan San.

"Pegang jari manisku."

Sekar menurut. Sepersekian detik ia terlonjak kaget.

Seharusnya Sekar dapat menyentuh anggota gerak tangan San ketika sarung tangannya berhasil dibuat cekung akibat ditekan oleh Sekar.

Namun kosong. Sarung tangan itu berhasil cekung, tanpa Sekar bisa memegang jari manis milik pemuda itu.

"J-jari manismu kemana?"

San menyunggingkan senyumannya kala melihat ekspresi keterkejutan yang digunakan Sekar. Gadis itu sangat terkejut sampai sampai ia menutupi mulutnya dengan kedua tangannya.

tacenda, choi sanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang