Insiden

295 1 0
                                    

.

.

.

HAPPY READING

.

.

.

Aku Raina. Usiaku masih bisa dibilang belia dikehamilanku yang berusia 7 bulan ini. Seharusnya anak seusiaku masih asyik bermain bersama teman-teman, hang out sana-sini, sibuk mencari jati diri, dan semacamnya. Tapi aku tidak bisa merasakan itu lagi. Bagaimana tidak? Aku calon ibu muda. Aku mengandung di usiaku yang baru saja menginjak 20 tahun. Bukan tanpa sebab, kehamilanku ini ada karena ketidak sengajaan seseorang yang saat ini sudah sah menjadi suamiku. Kata orang aku masih beruntung karena orang ini mau menikahiku, tapi tidak bagiku. Ini terasa seperti ujian terberat yang sulit sekali untuk kulalui. Aku menikah dengan lelaki yang aku tidak kenal, asing bagiku yang begitu saja masuk dalam kehidupannya.

Di sini aku adalah korban, tapi entah kenapa, di dalam rumah mungil ini terasa dialah korbannya. Dia selalu mengeluh padaku tentang keadaan ini. Dia berasal dari keluarga yang cukup terpandang, pun aku begitu. Kami sama-sama paham bagaimana rasanya tertekan. Kehidupan kami dibiayai oleh orang tua kami sampai tiba saat dirinya bisa dengan becus membiayaiku dan calon bayiku kelak. Keluarganya amatlah baik. Mereka tidak menyalahiku atas kesalahan anaknya ini yang secara random bilang bahwa aku tiba-tiba salah masuk kamar saat ada acara kampus yang dilakukan di luar kota. Licik sekali dia melimpahkan kesalahan padaku. Padahal, jelas-jelas dia yang menarikku paksa masuk ke dalam kamar saat dirinya setengah mabuk. Dasar gila.

Dia yang kumaksud ini bernama Dean, lelaki yang lumayan tampan dan bermuka kalem untuk senior yang nyatanya brengsek ini. Ia tak sejahat yang kupikir akan menyakitiku dengan kata-kata pedas atau bahkan memukulku. Ia hanya akan mengeluh padaku ketika dia sedang lelah. Aku mengerti. Aku pun merasakannya, hanya saja aku bukan tipe yang bisa berkeluh kesah dengan mudah pada orang asing sepertinya. Aku hanya akan menemaninya berbicara dan menghibur secukupnya.

Saat ini tepat jam 7 pagi. Aku melihatnya keluar kamar dengan mata masih tertutup. Ia juga menguap sembari mengusak asal rambutnya yang sedikit ikal. Lucu. Wajahnya yang terbilang oke itu jadi tidak sinkron dengan kelakuannya yang sedikit kekanakan. Jujur saja, mungkin dia masih belum terbiasa berbagi rumah denganku. Jadi, ia berlaku seolah ia masih tinggal sendiri. Dasar Dean, tanpa sengaja akupun terkikik geli.

"Hey, jangan tertawa sambil memotong begitu. Kalau pisau itu mengiris tanganmu atau bahkan lebih parah bagaimana? Aku lagi yang repot. Aku 'kan ada kuliah pagi."

Oh. Crap. Dia tahu aku tertawa. Lantas aku berdeham dan sekilas meliriknya dari samping.

"Tapi kamu beruntung masih bisa kuliah, sedangkan aku, pupus sudah."

Aku melihatnya memutar bola mata. Wah, dia sedang jengah ternyata. Dasar lelaki ini benar-benar ya. Ia melangkahkan kaki ke meja dapur dan duduk di sana sambil menyantap sandwich isi yang memang kusiapkan untuknya.

"Hey, jorok sekali. Paling tidak sikatlah gigimu dulu, Dean."

"Berisik sekali sih kamu, biar saja sikat giginya nanti setelah makan. Kan jadi bersih ke kampusnya."

"Ya Tuhan, semoga anakku tidak sepertimu nanti. Jorok!" ucapku dengan mengusap perut.

"Ya, ya, ya. Anakmu tidak akan sepertiku. Tenang saja, kalian akan bersama ayah baru 'kan nanti setelah si kecil itu lahir. Tenang, aku akan tetap menafkahinya setelah mendapat kerja."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 17, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

-Short Story-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang