Nay-Al

384 5 0
                                    

Al itu hidup Naya. Kalau Al tak ada, lantas bagaimana Naya akan hidup?

*****

WARNING:
TYPO, HAMPIR 10K KATA,
BAPER, BAHASA GAK BAKU,
CARUT-MARUT DI MANA-MANA,
POV 1


Hujan. Lihat! Padahal 15 menit yang lalu langitnya masih cerah, warnanya sebiru lautan. Matahari juga masih di atas sana dengan sinarnya yang menyilaukan mata. Namun, dalam sekejap saja awan kelabu memenuhi langit, menggantikan cuaca yang tadinya secerah senyuman Al menjadi gloomy begini. Oh ya, Al di mana ya? Sedari tadi Naya menunggu di sini tapi tak juga muncul. Mana sedang hujan begini. Duh, ayo dong Al. Cepat datang.

"Hah, di sini kamu rupanya. Capek aku cari kamu keliling kantormu!"

Itu Al. Naya lihat kaos hitamnya sedikit basah di bagian bahu dan celananya juga basah akibat cipratan genangan air hujan. Oh, Al bawa payung. Bukannya dipakai malah di genggam saja. Ya ampun. Naya speechless. Al ini tipikal galak tapi sayang. Jadi gemas, mau cubit pipi gembilnya.

Naya tersenyum lalu mengambil alih payung yang ada digenggaman Al. Sebelum itu, Naya melirik Al yang masih betah dengan muka ditekuknya. Dilihat dari tampilannya, Al sepertinya langsung ke sini menjemput Naya meninggalkan pekerjaannya. Al, Naya jadi merasa bersalah. Al pasti khawatir sekali.

"Al pasti capek. Maaf ya, Naya ngerepotin."

Naya mendengar Al mendengus, tapi setelah itu Al tersenyum. Al mengambil alih tas Naya dan menyampirkannya di bahu. Al juga mengambil alih payung yang sudah Naya buka tadi. Sebelah tangannya menggenggam tangan Naya. Menuntun Naya ke sebuah kedai kopi kecil di ujung jalan. Biasanya Al bilang itu warkop, warung kopi.

"Harusnya kamu tunggu di dalam. Di luar 'kan dingin. Kamu bilang gak enak badan, tapi malah berdiri di luar. Pakai rok lagi! Dasar nakal!"

Naya berjengit. Al mengetuk kepala Naya dengan telunjuknya. Ugh, sakit! Padahal Naya sengaja, jadi Al bisa kembali kerja lagi lebih cepat. Naya mana tahu kalau akan turun hujan.

Al menarik Naya masuk dan duduk di bangku paling ujung. Naya mendengar Al memesankan Naya susu coklat hangat. Al tahu betul apa kesukaan Naya saat hujan begini. Naya jadi makin sayang sama Al. Gimana nih?

"Hei! Melamun terus. Lama-lama susunya dingin. Minum dulu biar hangat."

Naya terkejut. Sudah dua kali ya Naya begini. Tenang, baru dua kali. Biasanya saja sampai tak terhitung. Dekat Al lama-lama itu bikin Naya jadi kurang fokus. Maklum, orang tampan itu pesonanya beda. Oh, iya! Susunya! Bisa kena ketuk sama telunjuk Al lagi kalau tak cepat diminum.

"Pelan-pelan minumnya, Nay," nasihat Al sambil mengusap punggung Naya yang naik turun. Ugh, Naya tersedak tadi. Karena ingin Al cepat kembali bekerja, Naya jadi lupa kalau susunya masih panas. Kasihan lidah dan bibir Naya.

"Al 'kan harus kerja lagi. Nanti kalau kelamaan pak bos bisa cari penyanyi lain buat gantiin Al," ucap Naya memperingatkan. Naya tak mau Al kehilangan pekerjaan yang susah payah Al dapat.

Al tersenyum. Lengkungan bibirnya membuat lesung pipinya ikut muncul. Membuat Naya juga ikut tersenyum. Al menjelaskan, katanya tak masalah jika bos itu memecatnya. Katanya rejeki tak akan tertukar. Sekalipun Al dipecat, katanya pekerjaan lain akan datang padanya. Meski butuh waktu, kalau terus usaha, terus semangat, Al yakin Al akan dapat pengganti yang lebih bagus dari yang sekarang. Begitu kata Al. Naya hanya mengangguki saja. Naya tahu Al orang yang seperti apa. Meski Al tumbuh dewasa dengan cara yang berbeda dari kebanyakan anak pada umumnya, Al adalah sosok pria terbaik yang pernah Naya kenal selama ini. Al selalu menjadi panutan untuk Naya di sebagian besar aspek kehidupan.

-Short Story-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang