Pacar Seorang Cross-Dresser [2]

393 5 0
                                    

Biasanya persaingan dalam dunia percintaan itu melibatkan adanya satu orang yang disukai dan dua atau lebih orang yang menyukai orang yang sama. Namun, apa jadinya bila orang yang menyukai satu orang itu memiliki gender yang berbeda? Pasti salah satunya ada yang tidak sesuai jalur. Pasti ada yang salah langkah. Salah satunya Brian. Berulang kali Lilia memperingatkan Brian untuk menjauh dari Azka. Brian itu belok, punya kelainan seksual, akan sangat berbahaya untuk Azka yang jati dirinya terlunta-lunta.

Meski sudah berkali-kali memperingatkan, Brian terus saja maju. Lambat laun semakin terlihat bahwa Brian memberi afeksi pada Azka secara terbuka. Orang jadi semakin berpikiran bahwa Azka seorang yang belok. Lilia berusaha membantah semua ucapan tak benar itu. Azka adalah lelakinya. Jiwanya masih seorang laki-laki. Ia terus menyangkal siapa saja yang datang padanya untuk menanyakan kebenaran itu.

Baru saja dua hari pasca pertemuan mereka bertiga di kosan, tapi kabar tak sedap itu seolah menyebar bagai api yang membakar kertas. Rasa sedih tentu ada, tapi lebih banyak ke arah kesalnya. Seandainya Azka tahu bahwa Brian belok, apa dirinya masih bertahan berteman dengan lelaki itu?

“Azka, aku serius! Brian belok! Di kampus makin banyak rumor gak enak tentang kamu.”

Azka mendesah. Sebelah tangannya memijat pelipisnya yang berdenyut. Saat itu di dalam kelas Azka yang sudah kosong, Lilia masuk begitu saja. Ia melihat Azka yang begitu tampan. Dengan kemeja biru langit dan celana panjang serta sepatu kets membuat penampilannya menjadi bernilai 100.

“Jangan bahas itu lagi, Lilia. Jangan merusak nama baik seseorang, apalagi Brian. Dia sudah banyak membantuku.”

“Membantu membuatmu semakin terperosok maksudnya? Apa segitu gak tahunya kamu kalo dia belok?”

Suasananya jadi tegang. Atmosfernya mendadak gelap. Perdebatan itu pecah untuk pertama kalinya setelah empat tahun kebersamaan mereka.

“Kalo aku udah tahu kenapa? Dia asik kok. Gak pernah bikin aku insecure. Dia selalu ngedukung apa yang aku mau. Gak kaya kamu, Li.”

Gak kaya kamu. Gak kaya kamu. Kalimat itu terngiang di kepala Lilia. Ia mengerutkan keningnya dalam. Apa yang sudah dikatakan si belok itu pada kekasihnya? Apa dia mencoba mencuci otak Azka?

“Kamu ‘kan yang selalu mau aku berubah jadi laki-laki pada umumnya? Kamu takut aku belok, kamu risih bawa aku ketemu orang tuamu yang pemuka agama, kamu gak bisa terima aku apa adanya, Li. Beda sama Brian.”

Lilian tak mampu menjawab. Azka sudah buta. Padahal selama 4 tahun itu, Lilia yang selalu ada untuknya. Saat dia menangis karena gunjingan orang sekitar, saat dia merasa berbeda, saat dia butuh perhatian lebih, Lilia selalu di sana sejak kelas 1 SMA. Bagaimana lagi caranya membuat mata itu terbuka?

Lilia menatap Azka penuh luka. Sudut matanya meneteskan air mata. Ia dengan cepat memunggungi Azka dan menghapus air matanya. Dengan suara bergetar, Lilia berkata, “Aku selalu berharap lebih sama kamu, Ka. Gak pernah sekalipun aku menjadi seperti apa yang diceritain Brian. Harusnya kamu tau, Ka. Brian itu cuma datang sebagai perusak hubungan kita.”

Lagi, keadaan di dalam kelas itu berubah hening. Azka sama sekali tak berniat bersuara. Hatinya sedang berperang. Siapa yang membohongi dirinya? Ia tak tahu. Baik Lilia ataupun Brian, mereka tak pernah berbohong sekalipun padanya.

“Kalo kita sudah sama-sama tenang, ayo bicarain ini lagi. Aku pulang duluan, Ka.”


***


Hampir sebulan Lilia dan Azka tak melakukan kontak. Sontak itu menjadi perbincangan hangat, hampir di seluruh kampus. Tentu ini hal yang menghebohkan. Banyak gosip yang mengatakan Azka adalah seorang gay, ada juga yang mengatakan bahwa Lilialah yang sudah lelah dengan hubungan gila itu. Keduanya masih kalut dengan pikiran masing-masing. Bahkan saat berpapasan pun, mereka berpura-pura seolah tak melihat satu sama lain. Dalam hati Lilia, ia merasa sakit. Tapi, melihat Azka yang tertawa bahagia dan saling rangkul dengan Brian di kosan bawah membuatnya hilang nyali. Bukankah sudah jelas? Azka memilih Brian. Lilia tak perlu lagi merasa harus membicarakan itu, hatinya hanya akan mendapat rasa sakit saja.

-Short Story-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang