Part 2: Diam Atau Maju?

36 0 0
                                    


Suasana Kebayoran Lama tempat Jampang menetap saat ini di bawah kekuasaan tuan tanah dengan centeng-centengnya yang setiap bulan datang menagih pajak kepada penduduk. Bila penduduk tidak punya uang untuk membayar pajak, para centeng tak segan-segan mengambil harta milik mereka. Ada kambing yang terlihat di kandang akan diambil. Keadaan bahkan bisa lebih buruk lagi. Para centeng bisa saja memukuli orang yang tak mampu membayar pajak. Jampang sama sekali tidak bisa diam menyaksikan perilaku centeng-centeng yang tidak punya perikemanusiaan kepada penduduk. Timbul keinginan Jampang untuk menantang para centeng, tapi dia juga memikirkan nasib empu rumah yang memberinya tumpangan.

"Mane pajak lu, cepat!" Hardik centeng kepada Jampang.

"Ini, bang!" Jampang menyerahkan uang beberapa sen pada centeng tersebut.

"Lu memang penduduk yang taat!" Ujar centeng itu.

"Aye, bang!"

Jampang mengalah. Saat ini dia hanya bisa membiarkan para centeng beraksi di depan matanya. Jampang berpura-pura seperti orang bodoh. Namun, Jampang mengamati dengan cermat wajah para centeng dan bertekad akan membalas perbuatan mereka di kemudian hari.

"Lu mau kemane, Pang?"

"Mau ke Tanah Abang, nyak."

Di suatu hari yang tak terduga, Jampang langsung pergi ke Tanah Abang sendirian. Jampang memutuskan untuk mengambil kembali hak milik penduduk yang diambil oleh para tuan tanah dan centeng. Jampang melewati rumah para tuan tanah beserta para centeng yang kaya raya. Sungguh berbeda, rumah mereka penuh dengan perabot mahal. Dari mana lagi kalau bukan dari hasil memeras penduduk.


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


"Anak siape dan dari mane?" Tanya seorang ustadz menyapa Jampang.

"Aye Jampang, pak ustadz. Aye dari kebayoran lama." Jawab Jampang sopan.

"Ada keperluan apa singgah di kampung sini?" Tanya sang ustadz lagi.

"Aye pengen ngambil milik aye yang dirampok tuan tanah!" Jawab Jampang percaya diri.

"Hati-hati ye nak, banyak jagoannye." Sang ustadz mengingatkan.

"Aye selalu punya penolong, pak ustadz." Ujar Jampang.

"Siape?" Tanya sang ustadz penasaran.

"Yang di atas, Allah!" Jawab Jampang.

Sang ustadz tersenyum bangga. Beliau pun mengajak Jampang makan di rumahnya. Jampang tidak menolak. Sambil makan bersama, sang ustadz menyampaikan sesuatu.

"Malam ini ada pertunjukan di kampung sebelah, biasanye lewat Isya para centeng dan tuan tanah pergi".

"Terima kasih, pak ustadz."

Jampang pun bergerak menuju rumah tuan tanah. Dari kejauhan terlihat kerumunan orang. Para centeng dengan golok di pinggang sambil menyulut rokok sebagian duduk dan sebagian berdiri. Kemudian keluar seseorang yang barangkali adalah tuan tanah lalu kerumunan itu pergi dari rumahnya menuju ke kampung sebelah menonton pertunjukan Gambang Kromong.

Jampang dengan cermat mengawasi kepergian tuan tanah dan para centengnya. Setelah mereka berlalu beberapa saat, Jampang masih tetap di tempatnya untuk mengawasi keadaan rumah. Kemudian, keluar seorang lelaki menutup pintu pagar dan masuk kembali ke dalam rumah. Jampang bergerak perlahan-lahan sambil mengawasi keadaan sekitarnya. Suasana sepi, gemerisik angin dan suara jangkrik memecah kesunyian malam. Jampang melompati pagar rumah tuan tanah dan maju mendekati jendela, menempelkan telinganya pada jendela. Terdengar suara perempuan sedang berbincang-bincang didalam rumah.

"Nyak, kalung aye belom juge dibeliin! Kapan, nyak ? Terdengar suara perempuan muda bersungut-sungut yang sepertinya anak tuan tanah.

"Entar kalo si Rochim ame babe lu balik, pasti lu punya dapat kalung. Sono tidur, udah malem!" Ujar suara perempuan tua yang sepertinya istri tuan tanah.



*BERSAMBUNG*



Jangan lupa vote dan komen kalo suka ceritanya. Ditunggu part 3 nya ya :)

LEGENDA SI JAMPANGWhere stories live. Discover now