I

44 24 11
                                    

Yamamoto Akira.

Nama yang membuat satu sekolah ricuh karena menerima siswa berdarah Jepang. Dengan paras rupawan, mampu membuat beberapa siswi menoleh kagum. Beberapa dari mereka pun memasang taruhan untuk bisa mendekati Akira. Perbincangan mereka terus menerus membuat nama Akira menjadi pusat perhatian. Pun selalu ada di papan tulis saat para orang tua dan wali mengambil hasil penilaian di akhir semester, menjadi siswa peringkat pertama di angkatannya.

Tidak hanya sampai sana, Akira bahkan mampu menyabet piagam-piagam  dengan prestasinya di setiap ajang mata pelajaran yang diikuti. Entah didikan seperti apa yang membuat Akira bisa sampai secerdas ini meskipun masih siswa angkatan pertama.

"Selamat, ya, Akira, kamu naik ke kelas sebelas dengan nilai yang memuaskan," ucap wanita dengan rambut sebahu. "Ibu bangga banget pernah menjadi wali kelas kamu. Jangan sungkan, ya, kalau kamu butuh apa-apa bisa ke ruangan Ibu."

Senyum hangat ia berikan, kepalanya mengangguk, formalitas. "Terimakasih banyak, Bu!"

"Sama-sama."

Akira bangun dari duduknya. Langkah lebarnya membawa ia lebih cepat menuruni anak tangga menuju lapangan. Di sana sudah banyak siswa-siswi yang sedang menunjukan bakatnya di atas panggung. Ada banyak juga calon siswa yang ikut menonton.

Akira terkekeh melihatnya, mereka sangat mirip dirinya satu tahun lalu. Di mana kedua bola matanya berbinar melihat kaka kelasnya tampil, mereka terlihat seperti bintang. Akira yang dulu sempat berpikir mungkin mereka memiliki jam terbang yang tinggi. Dan memang benar, mereka semua sudah pernah tampil di khalayak umum, sebagai ajang lomba ataupun sekedar panggilan berbayar. Dari yang Akira lihat semua ekstra kulikuler di SMA Birna, yang lebih sering keluar untuk pentas atau panggilan hanyalah anak musik.

Ya, dan tebakan Akira dulu benar, Karena di era millennial ini banyak sekali orang yang menyukai musik, terlebih semakin marak coffee shop yang buka di sepanjang tepi jalan. Tentu, tempat yang memiliki live music lebih banyak di minati. Sempat terpikir olehnya untuk mengikuti ekskul tersebut, namun diurungkan karena dirinya hanya penikmat.

"Akira!"

Lelaki berwajah oriental itu menoleh, mendapati siswi sekelasnya yang berlari menghampiri. "Ada apa?"

Gadis itu terengah, "Nanti malam anak kelas kita mau ngadain pesta, lo harus ikut!"

Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana, memikirkan ajakan Ratna, gadis dengan surai hitam panjang yang sempat menjadi incarannya dulu saat ia masih menjadi siswa baru.

Ratna memutar kedua bola matanya malas, kemudian berdecih, "Sok keren lo!"

Akira sontak menoleh, "Eh?"

"Nanti malam lo harus jemput gue di rumah, jangan telat."

Kedua alis Akira menyernyit. Sejak kapan mereka menjadi teman antar- jemput. Bahkan pernah mengantarkan gadis itu pulang saja tidak pernah. "Nggak mau. gue nggak tahu rumah lo."

Ratna berdecak, "Kuno lo, kan, ada maps. nanti gua share location ke lo, oke?" Belum sempat Akira menjawab, gadis itu melanjutkan, "jangan telat pokoknya!" lalu berlari dari hadapannya secepat mungkin. Akira mengendikkan kedua bahunya tak acuh.

"Ka Akira?"

Untuk kedua kalinya ia menoleh, "Iya?" Lagi-lagi seorang gadis yang menghampirinya. Kali ini dengan surai hitam pendek sebahu.

"Ka- kakak yang namanya Akira, bukan?"

Salah satu alisnya terangkat. "Iya, saya." Lalu bujari membawanya pada tanda pengenal yang terpasang di atas saku kiri yang tertulis Yamamoto Akira. "Kamu cari saya? ada apa, ya?"

"A- aku mau minta tanda tangan Kaka, boleh?" Gadis itu menyodorkan kertas kosong dan pulpen hitam.

Kedua mata Akira menangkap beberapa gadis berseragam bebas di ujung tangga, sedang melihat interaksi mereka. Kalau dipikir-pikir, gadis di hadapannya juga tidak berseragam. "Kamu baru mau masuk, ya?"

"I- iya, Ka." Gadis itu terihat sangat lugu. Kalau dilihat dari situasi, sepertinya Akira tahu ke mana arah nasibnya.

"Kamu taruhan, ya?" Badan tingginya sedikit membungkuk, kedua tangannya memegang bahu gadis di hadapannya. "Saya berdoa, semoga kamu nggak sekelas sama anak-anak yang lagi mantau kamu di ujung tangga."

"E- eh?"

Sesungguhnya Akira tidak peduli. Ia mengambil kertas yang disodorkan. "Siapa nama kamu?"

"Mey, Ka."

Akira dengan cepat membubuhkan tanda tangan di kertas kosong itu. "Sudah." Lalu memberikan kembali kertas tersebut. "Saya duluan, ya, masih ada urusan." Ia berbalik, dan melangkahkan kakinya ke arah kantin.

"Oi, Akira-kun!"

Akira berdecih, ia menengadah, dilihatnya dari lantai dua, terpampang manusia lain yang sekelas, bahkan satu organisasi dengannya. Ia mengacungkan jari tengahnya ke atas. Terdengar gelak tawa dari atas sana. Untung saja gadis yang meminta tanda tangan sudah berlari menghampiri temannya.

"Akira-kun, cepet naik, ada rapat OSIS!"

Akira tak habis pikir, bisa-bisanya lelaki itu teriak dari sana, di mana siswa-siswi yang berada di lapangan pun ikut menoleh ke atas. Apa ponsel mereka hanya digunakan untuk menonton film biru. Benar-benar tidak berguna.

Sepanjang koridor, temannya itu tidak berhenti berteriak, yang mana membuat dirinya menjadi pusat perhatian. lagi pula, apa rapat OSIS saat pentas seni ini di perlukan? mungkin itu hanya bualan saja. Dan kini ia harus mengurungkan niat ke kantin. Langkahnya membawa Akira menaiki anak tangga. Begitu sampai pada anak tangga terakhir, tubuhnya hampir terjun ke bawah karena bertabrakan dengan lelaki berlawan arah. Kalau saja salah satu tangannya tidak cepat memegang besi penyangga, sudah pasti Akira jatuh terguling, benar-benar memalukan. Ia sempat mendengar lelaki yang menabraknya itu berdecih.

"Next, gue pastiin lo jatuh," ucap lelaki berkulit tan.

Akira terkejut, ia tahu lelaki yang menabraknya itu tahun angkatan ketiga. Negitu ia menoleh, lelaki itu sudah tidak ada.

Siapa yang jatuh? Akira bertanya dalam hati. Sial. padahal ia sangat yakin kalau dirinya tidak pernah membuat masalah dengan senior, baik perempuan maupun lelaki.

"Oi, lama banget naik doang." Ahmad, satu-satunya lelaki yang menambahkan nama Akira dengan kata -kun itu menghampiri. Ia sangat yakin kalau Akira tidak mungkin selama itu setelah dirinya melihat lelaki oriental ini menaiki tangga. Ia menyadari raut wajah temannya itu berubah. "Ada masalah?"

Akira mengangguk, "Kayaknya."

Satu toyoran didapatkan Akira, "Bloon amat. Ada masalah pakai kayaknya. Lo ketemu hunter pas naik tangga, ha?"

Akira mengangguk, mengiyakan perkataan Ahmad. Meski rasanya tak mungkin, tapi dari perkataan lelaki tersebut membuatnya yakin kalau mulai sekarang ia tidak bisa hidup tenang. 

___ ___ ___ ___ ___

Selamat membaca~
Jangan lupa tinggalin jejak, ya!
Vote dan komen kalian sangat berharga🖤
kritik dan saran pun saya terima.

AKIRA: The New BornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang