IV

31 20 1
                                    

"Lo beneran nggak mau gabung?" tanya Ahmad.

"Kalau maksud lo gabung untuk ngobrol dengan Lingga, nggak dulu, Mad," jawab Akira.

Setelah meninggalkan Akira satu jam lalu, Ahmad kembali dan mendapati temannya itu sedang duduk di sofa. Alih-alih mengobrol, dia hanya asik memainkan ponsel seorang diri. Bukankah hal seperti itu sangat menonjol, bahkan bisa mengundang seseorang untuk mendekatinya. Akira itu rupawan. Paras yang memiliki darah Jepang memang tidak pernah gagal. Siapa yang tidak mau mendekatinya. 

"Yaudah, kalau begitu gue yang temenin."

Akira menggeleng. "Nggak usah, Mad. Nanti lo dipikir homo."

Salah satu alis Ahmad terangkat. "Mana ada begitu, cendol!"

Akira mengendikkan kedua bahunya. "Ya, bisa aja, kan, Mad."

"Jangan aneh-aneh lo."

"Nggak aneh-aneh, sih. Dari tadi, kan, gue diem."

Ahmad berdecak. Berdiam lama seperti ini dengan Akira bisa membuat darahnya tinggi. Namun, tidak mungkin juga dia meninggalkan temannya duduk seorang diri, layaknya anti sosial. Dari kejauhan, Ahmad melihat seorang gadis surai panjang menghampiri dirinya dan Akira. Itu teman sekelas mereka, Ratna.

"Akira," gadis itu berujar begitu sudah mendekat.

Akira menengadahkan kepala, menatap gadis yang beberapa puluh menit ia temui. "Ya?"

"Nanti lo harus antar gue pulang."

"Lho." Akira menoleh pada Ahmad. Lelaki itu hanya mengendikkan kedua bahunya. "Gue bareng Ahmad, Rat."

Tatapan Ratna kini berpindah ke Ahmad. "Lo bawa mobil atau motor?"

"Mobil," Ahmad menjawab.

"Yaudah, cukup, kan, dimasukkin tiga orang?"

Ahmad melirik Akira. Meminta jawaban padanya. Namun, sekalinya Akira, memang tetap Akira. Dibalik kecerdasan yang dimilikinya, tidak luput dengan otak lemot. Atau mungkin, bodoh. Lihat saja, ia memandang Ahmad dengan tatapan polos, dan mulutnya yang sedikit terbuka. 

Ahmad menghela napas. "Terserah, Rat. Lo mau jungkir balik di mobil gue juga nggak pa-pa."

Ratna memutar kedua bola matanya. "Kalau gitu, tunggu gue di parkiran. Mobil lo masih yang sama, kan?"

"Masih."

"Nanti gue kirim pesan ke lo aja, Mad?"

"Ya, terserah."

"Soalnya teman lo itu idiot. Kayaknya dia nggak bisa gunain handphone." Ratna mengendikkan kedua bahunya. Ia melirik sinis Akira, yang juga sempat menatapnya. Apakah Akira marah? Tentu tidak. Bahkan, lagi-lagi dia menatap dengan tatapan polos yang Ratna sebut itu idiot.

Ahmad terbahak, bahkan mengundang mereka yang duduk dan berdiri tak jauh dari tempatnya untuk menoleh. "Udah tahu idiot, masih aja dikejar."

Ratna berdecak. "Kalau nggak ganteng, juga nggak bakalan, Mad."

"Gue masih di sini, lho," ucap Akira, sedikit tersinggung karena dianggap tidak ada. Bagaimana bisa mereka membicarakan orang di depannya dengan santai. "Lagian, kenapa lo maksa minta bareng?"

"Yang punya mobil aja nggak keberatan."

"Tapi gue sebagai penumpang terhormatnya, amat sangat keberatan, Rat." Akira bangun dari duduknya. Ia sedikit merapihkan jasnya. "Setidaknya, lo harus minta dengan sopan. Attitude itu sangat diperlukan. Apalagi dengan orang yang nggak terlalu akrab sama lo."

Ahmad terbengong mendengarnya. Ia pikir, Akira tidak mungkin repot-repot melakukan hal seperti ini. Yang ia bayangkan, Akira akan manut saja mengikuti perkataan Ratna. Ahmad berdiri, menyentuh bahu Akira dengan pelan. "Udah nggak pa-pa."

"Nggak bisa begitu, Mad. Memang dia pikir kita ini supirnya?" telunjuknya diarahkan pada wajah Ratna. "Gue nggak akan mau nunduk sama perempuan seperti lo yang nggak tahu attitude."

Ahmad menurunkan tangan Akira. Meskipun ia sangat setuju dengan perkataan Akira, tetapi melakukan tindakan seperti ini di depan umum sangat salah. Pasalnya, Ratna hanya mengucapkan sesuatu yang bahkan itu sangat bisa di toleransi. Tidak perlu sampai Akira berdiri, dan menunjuknya seolah Ratna melakukan kesalahan fatal.

Gadis itu sudah sangat terkejut. Kedua bola matanya melebar. Ia pikir, Akira tidak akan bertindak sejauh ini, mengingat wajah dia yang belum lama terlihat seperti orang bodoh. 

"Rat, sorry," ucap Ahmad.

"Lo minta maaf ke perempuan itu karena kelakukan gue, Mad?" tanya Akira. Rahangnya mengeras. Tangannya sudah mengepal. Akira berharap ada satu saja seorang yang memancingnya untuk bisa melampiaskan kekesalan. Ia ingin meninju wajah seseorang, siapapun itu, kecuali Ahmad. 

"Akira sadar," ucap Ahmad. Ia menatap Akira dengan tatapan lesu, "Ayo, kita pulang."

"Gue pulang sendiri, Mad. Kalian silahkan pulang berdua." Akira melenggang pergi, meninggalkan Ahmad dan Ratna. Persetan, jika memang perlakuannya ini salah. Karena bagi Akira, sedikit menyuarakan rasa keberatan tidak apa. Ia tidak mau terlihat, pun tertindas. 

Ahmad tidak mengejar Akira, seperti layaknya film-film yang ia tonton. Membiarkan Akira pergi sendiri juga tidak bagus. Ia mengembuskan napas kasar. Mungkin memang seharusnya dia mengejar Akira. Takut-takut lelaki itu bunuh diri. Meskipun tidak mungkin. Belum sempat kakinya melangkah, sebuah tangan menyentuh bahunya. Mencoba menghentikan.

"Biar gue aja."

Ahmad menoleh, mendapati Lingga di sana.

"Sorry, tadi gue sempat merhatiin kalian." Lingga menepuk pelan bahu Ahmad. "Biar gue yang ngejar dia. Ada yang perlu gue bicarain juga sama dia."

Tanpa jawaban, Lingga langsung mengikuti langkah Akira dari belakang. Tidak cepat, namun konsisten. Matanya tidak luput sedikit pun dari punggung Akira. Menuju luar ruang acara, Akira menuju ke arah basement. Lingga menyernyit. Bukankah Akira tidak membawa kendaraan. Atau ia hanya melewatinya saja. Lingga berpikir, Akira akan berjalan kaki ke rumahnya. Namun tidak, langkahnya berhenti mengikuti langkah Akira.

"Ngapain ngikutin?" ucap Akira tanpa menoleh.

Lingga melangkah lebih dekat. "Cuma pengen lihat orang frustasi."

Akira membalikkan badan, tatapan datar ia berikan. "Lo berharap gue bunuh diri?"

"Berharap lihat drama yang lebih bagus dari ini."

Akira masih mempertahankan posisinya. "Hidup lo penuh drama berarti, ya."

Lingga menyeringai. "Mari kita lihat. Hidup siapa yang paling banyak drama."

***

Silahkan tinggalkan jejak.

Kritik dan saran diterima. Silahkan ditandai 

AKIRA: The New BornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang