VI

12 4 0
                                    



Akira menunggu. Bahkan sampai Kakek dan Nenek-nya pun datang juga tak masalah. Membela diri hanya akan sia-sia saja. Buang-buang tenaga, pikirnya. Jadi yang akan ia lakukan hanya menerima sumpah serapah dari keluarga Ratna atas apa yang tidak ia perbuat. 

Raut wajah kecewa, yang entah berapa kali sudah ia terima dari Wali Kelas dan Kepala Sekolah tidak akan merubah apa pun. Di sini, Akira tetap bersalah.  Dan ia benar-benar hanya mengharapkan jawaban yang jujur dari Ratna.

Ketukan pintu membuat dua lelaki dewasa itu menoleh. Kepala Sekolah mempersilakan untuk masuk. Pintu terbuka, di ambang pintu sana menampakkan wanita berusia kepala tiga yang berusaha menahan emosi yang meluap. Mungkin setelah dipersilakan bicara, Ibunda Ratna akan mengeluarkan kata-kata yang Akira sendiri malas untuk mendengarkan. Tidak melupakan Ratna yang berdiri dengan kepala menunduk di belakang sana.

 Kepala sekolah berdiri dari duduknya, disusul Wali Kelas mereka. "Terimakasih sudah datang." 

Meski sempat menoleh, Akira tidak lagi memusatkan pandangannya pada mereka. Beberapa piagam penghargaan di sebelah Kepala Sekolah dipandanginya dengan tatapan kosong. 

Kepala Sekolah mempersilakan Ratna beserta Ibunya untuk duduk di sebelah Akira. Pak Suarna sudah berpindah duduk di samping Ketua Yayasan itu. 

"Sebelumya saya ingin meminta maaf kepada semua pihak atas apa yang terjadi. Mungkin Ibu sudah melihat dan mendengar berita yang terjadi dengan putri kalian." Kepala Sekolah menghela napas kasar. Ia memperhatikan raut wajah wanita itu yang sedang mengeraskan rahang. Rambut pendeknya membuat struktur wajah wanita itu terlihat kentara.

"Dan saya amat sangat menyesali apa yang mereka perbuat. Beberapa foto dan lembar kertas yang saya kirim kepada Ibu sudah menjadi bukti atas tindakan asusila mereka dan itu sudah mencoreng nama baik sekolah--"

"Lalu, apa nama anak saya tidak tercoreng?" wanita itu memotong pembicaraan Kepala Sekolah. "Apa Bapak pikir, anak saya melakukan itu karena ingin? Dia dijebak!" Ibunda Ratna menunjuk Akira yang masih tidak mengacuhkan pembicaraan mereka. "Dia dijebak dengan lelaki sok lugu ini!"

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, begitu pikir Akira. Ibunda Ratna dengan Ratna benar-benar mirip, minim sikap baiknya. Selalu menunjuk dan menghakimi seseorang tanpa memikirkan perasaan dari lawan bicara. Dan apa itu dijebak? Justru dirinya yang sedang dijebak oleh drama menyedihkan yang anaknya buat.

Akira terkekeh mendengar semua itu. 

"Jangan tertawa kamu!" ujar Ibunda Ratna.

Akira menoleh. "Lho, Bu. Saya punya hak bicara di sini. Saya korban."

"Korban matamu! Jelas-jelas kamu sengaja menjebak anak saya untuk melakukan hal tidak mendidik seperti itu!"

"Apa Ibu sudah bicara dengan anak Ibu?" tatapannya terkunci pada Ratna yang setia menunduk. "Rat?"

Gadis itu menggigit bibir bawahnya. 

"Jawab Ratna. Jelasin kalau kamu itu korban kepada mereka. Jangan mau dibodoh-bodohi karena cinta!"

Semua mata tertuju pada gadis itu. Keringat dingin sudah mengalir dari pelipisnya, matanya berkaca-kaca. 

"Ratna," ucap Kepala Sekolah, merendahkan suaranya. Gadis itu menatap takut pada Kepala Sekolah. "Jawabanmu ini yang akan memutuskan apakah Akira bersalah atau tidak."

Ratna mengeraskan rahang. Pikirannya seketika kosong. Ia ingin melarikan diri dari situasi ini jika saja bayangan seseorang tidak terpikirkan olehnya. Seseorang yang sangat berpengaruh dalam hidupnya. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AKIRA: The New BornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang