II

37 24 15
                                    

Padahal Akira tahu bahwa lelaki berkulit tan yang menabraknya beberapa jam lalu itu sangat populer, tetapi sangat disayangkan tingkahnya seperti pengecut. Bagaimana bisa ada lelaki yang mengancammu hanya dengan satu kalimat, setelah itu menghilang seperti pecundang.

Lingga Aulia. Tanpa tanda pengenal yang Akira baca di seragamnya pun ia tahu kalau itu Lingga, vokalis utama dari ekskul musik di SMA Birna. Sebelum Akira memasuki sekolah ini, Lingga sudah menjadi pusat perhatian seantero sekolah karena ketampanan dan kepintarannya, bahkan sekolah lain pun mengakui kepintaran Lingga. Jauh sebelum memasuki SMA, Lingga sudah menjadi siswa dengan nilai UN tertinggi di SMP-nya dulu. Bahkan sampai saat ini pun satu kasus belum pernah mencoreng namanya.

"Akira-ku."

"Mad," Akira memotong pembicaraan Ahmad.

"Oi."

"Gue mau masuk ekskul musik," ucap Akira

"What the fu-," Ahmad tidak melanjutkan ucapannya. Ia menyandarkan salah satu bahunya, menatap Akira lekat-lekat, "Yakin, lo?" Bahkan melihat Akira memainkan salah satu alat musik pun tidak pernah.

"Nggak, sih,

"Kedua alis Ahmad menyernyit, "Lho, kok, bisa." diletakkan satu bahu tangannya pada kening Akira. "Pantes, stresnya kumat."

Akira berdecih, "Semua manusia hebat itu melakukan sesuatu dari nol, Mad."

Ahmad mengendikkan kedua bahunya. "Ya, setidaknya lo ada basic musik, lha. Nggak asal main terjun gitu aja. Hebat nggak, kena mental, iya."

Perkataan Ahmad tidak sepenuhnya salah. Namun, apa salah jika saat ini ia merasa khawatir. Padahal hanya tersisa waktu dua tahun lagi untuk menyelesaikan sekolah. Selepas itu ia akan meninggalkan Indonesia, dan melanjutkan pendidikannya di tanah kelahirannya, Jepang. Apa ia tidak bisa untuk berada di zona seperti ini sampai lulus saja.

Sial. Ayolah, jangan ada masalah. Kedua tangan Akira menjambak rambutnya kesal. Entah kenapa, di saat seperti ini bayang-bayang buruk menghantuinya. Bayang-bayang yang membuat dirinya menjadi penjahat di mata seseorang.

"Akira, kan, anak baik."

"Akira!"

"Akira!"

"Argh!"

"Akira!" Ahmad mencoba melepaskan kedua tangan Akira. Beruntung koridor lantai dua dan tiga tidak terlalu ramai. "Tarik napas." Lalu ia memberi aba-aba untuk Akira menghembuskan napas. Dan itu dilakukan sampai tiga kali.

Ahmad itu terlalu peduli dengan Akira, sampai-sampai kepeduliannya tidak pernah sampai pada orangnya. Karena Ahmad merasa dirinya dengan Akira memiliki beberapa kesamaan; mereka sama-sama jauh dari orang tua, dan mereka memiliki adik yang menjadi alasan untuknya bertahan sampai saaat ini. Tetapi Ahmad yakin, jika Akira mempunyai alasan kuat, lebih dari itu untuk menjadi seperti ini. Ia memang tidak tahu banyak tentang Akira, setidaknya ia akan membantu teman sekelasnya itu dengan senang hati.

"Sudah tenang?"

Akira mengangguk. "Mad,"

"Iya? lo mau gua ngelakuin apa?" jawab Ahmad dengan sigap.

"Sebelum acara nanti malam, gue mau minta antar buat beli jas," ucap Akira.

"Ha?" Kedua bola mata Ahmad membola. "Gue pikir, lo mau nyuruh gue ngelakuin hal terakhir sebelum lo mati, sial."

"Berarti lo nyumpahin gua mati."

"Bodo amat."

***

AKIRA: The New BornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang