Lingga terbahak, kencang sekali sampai membuat Ahmad yang di luar pun menoleh ke arah kasir, memperhatikan. "Ya ampun, maaf." Ia mengeluarkan kartu dari dalam dompet. Tawanya kini sudah tidak sekencang tadi. Akira yang melihat itu hanya menyernyitkan kedua alisnya.
"Oke, kalau begitu gue tunggu administrasinya," ucap Lingga, yang dilanjutkan membayar barang belanjanya.
"Kalau sudah selesai, silahkan minggir," Akira menyela.
Lingga menerima kembali kartu beserta transaksi belanja. "Done." salah satu tanggannya dibiarkan membawa barang belanja. Ia menepuk bahu Akira. "Sampai bertemu di tempat, Akira-kun."
***
Acara pesta semalam sudah bukan lagi rahasia umum di SMA Birna. beragam jenis alkohol pun tersedia. Sudah persis seperti kelab, bukan. Bahkan pihak sekolah pun sempat melarang acara seperti ini diadakan, tidak mendidik katanya. Namun, ada banyak cara bagi mereka untuk membuat pihak sekolah berpikir dua kali membubarkan acara Malam Penerimaan Siswa di SMA Birna. Mereka menyembunyikan jejak kotor dalam acara ini dengan apik. Tentu saja selalu ada dalang di balik semua ini. Seseorang yang membuat semuanya terlihat baik-baik saja.
"Kayaknya tahun lalu nggak seramai ini, deh," ucap Ahmad, begitu langkahnya memasuki ruangan tertutup. "Banyak banget wajah asing." Kepalanya menggeleng. Benar-benar tak habis pikir dengan Kepala Pelaksanaan MPS-Malam Penerimaan Siswa-yang bisa membawa orang dari luar sekolah untuk ikut bergabung.
"Itu anak baru kali," ucap Akira.
Mana mungkin ada banyak anak baru yang benar-benar akrab dengan kaka tingkat. Bahkan mereka mendentingkan gelas seolah sudah sering melakukannya. "Iris kuping gue kalau mereka itu bukan siswa sini."
Salah satu alis Akira terangkat. Bukannya ia tidak memperhatikan, namun hal seperti ini bukankah umum untuk diikuti semua pihak dari mana pun selagi tidak ada larangan secara tertulis. Ia mengendikkan kedua bahunya tak acuh. Tak peduli sekalipun orang dari luar bergabung. Toh, ini bukan acara resmi.
"Mau minum?" Ahmad menawarkan. Dari pada mereka memikiran hal yang tidak penting lebih baik mengisi dahaga dengan sedikit minuman dingin yang sudah disediakan.
Akira menoleh. "Boleh. Ambilin, ya."
"Oke." Ahmad melangkahkan kakinya pada meja bundar yang berdiri di tengah-tengah lautan manusia, meninggalkan Akira yang langsung mengambil tempat di sudut ruangan, menyandar di sana dan sebisa mungkin tidak terlihat menonjol. Memang seharusnya seperti ini. Menjadi saru di antara manusia-manusia biasa saja, tidak pintar dan tidak bodoh agar eksitensimu tidak terlihat.
"Oh, sudah datang?"
Tidak ada niat sedikit pun untuk Akira menoleh, meskipun ia tidak tahu dengan sosok lawan bicara saat ini. Melihat beberapa manusia yang dengan asik menggoyangkan pinggul mereka, ada pula yang saling merengkuh bahkan bercumbu, rasanya itu lebih baik.
"SMA Birna membuat acara gabungan sama sekolah lain," katanya.
"Sudah tahu, kok," jawab Akira.
"Tapi lo nggak tahu mereka dari sekolah mana, bukan?"
Akira memicingkan mata. Kini ia menatap lelaki dengan setelan yang-sama seperti dirinya-serba hitam. Tubuh rampingnya mengingatkan Akira akan seseorang yang pernah ia temui. Dan apa-apaan kacamata hitam itu. Memangnya ruangan ini terkena sinar matahari langsung, sampai membuatnya menggunakan barang seperti itu.
"Nggak minat tahu juga, sih."
Lelaki itu terkekeh. "Lo ngelupain sesuatu."
Akira mengangkat sebelah alisnya. Berpikir sejenak, yang bahkan dilakukannya hanya sebagai formalitas. "Gue nggak melupakan apa pun."
KAMU SEDANG MEMBACA
AKIRA: The New Born
Teen FictionAkira hanya ingin menjadi siswa cerdas di sekolahnya agar tidak terikat dengan manusia-manusia tidak berguna. Menjadi tenang dan tidak peduli dirasa cukup untuk tidak menimbulkan masalah. Namun, sebuah fitnah muncul hingga membuat dirinya dikeluarka...