TERJEBAK

193 9 2
                                    

"Elu gak akan langsung pulang kan, Ren?" sergah Toto, memburu. Di sampingnya Nisa mengangguk. Ekspresi kecemasan mereka tak dapat dihindarkan. Semua siswa kelas XII.BDP.I meributkan tentang kondisi Dinar. Karen menjadi satu-satunya orang yang diburu pertanyaan. Namun beruntung Karen masih bisa meredamkan suasana. Ia berkata kalau Dinar baik-baik saja.

"Kita ke rumahnya sekarang," jawab Karen seraya menyelendangkan tas ke pundaknya.

"Muka lu tegang banget, To?" tegur Nisa. Toto menoleh cepat. Keningnya bercucuran keringat. "Gue khawatir aja, Nis," jawabnya sambil mengelap keringat yang sudah melewati bagian pelipis.

Karen, Toto, dan Nisa bergegas memburu angkot yang berlalu lalang. Mereka melesat secepat kilat untuk sampai di depan gerbang rumah Dinar. Sepi. Hening. Beberapa sandal tertata rapi di tepi gundukan teras. Garasi pun lengang. Karen menangkap gagang kunci, ia putar, lalu menggeser gerbang rumah. Otot bisepnya menegang. Tak terlalu berat, tak seperti beban kecemasan yang sedang bergelayutan di dalam dadanya.

"Eh, gue beli makanan dulu, ya," cetus Toto ketika gerbang setengah terbuka.

"Iya juga. Kita kenapa baru kepikiran sekarang," Karen mengeluh.

"Camilannya tambahin, ya," seru Nisa sembari terkekeh. Toto berlalu. Karen dan Nisa melangkah mantap ke area dalam.

"Permisi, Assalaamu'alaykum," sapa Karen tepat di depan pintu rumah berwarna coklat tua itu. Karen mengulangi lagi salamnya. Pintu diketok berirama. Masih tak ada jawaban. Pintu baru terbuka ketika Karen sudah meneriakkan salamnya yang ke lima.

Seorang ibu yang sudah tak asing bagi Karen menyambut mereka. Penampilannya tetap terlihat modis meski hanya memakai piyama dan berkerudung geblus. Mata yang sedikit sembab, berkerlipan. Kulit wajah basah, dan berkilapan menambah anggun parasnya.

"Wa'alaykumussalaam" ucap Bu Daniar, mempersilakan masuk. Ketenangan yang ditampilkan Bu Daniar membuat Karen dan Nisa pun merasa tenang.

"Tante, gimana kabar Dinar?" Karen langsung memberi pertanyaan setibanya ia di sofa dan duduk.

"Dinar baik-baik aja. Cuma tadi pas pulang mukanya agak pucat"

"Sekarang dia di kamar Tante?"

"Ya," jawab Bu Daniar singkat.

"Boleh izin lihat, Tante?"

Bu Daniar mengangguk, pelan.

Dari arah belakang, angin halus mengusap-usap tengkuk ketiganya. Mereka bergidik. Nisa tanpa sadar memegangi tengkuknya. Sambil berjalan menuju kamar Dinar, Karen merasakan hawa di dalam rumah sangat tidak bersahabat. Kelembaban yang sedari masuk rumah menyergap, kini semakin kental.

Karen mengetuk pintu kamar Dinar. Mereka memanggil-manggil nama sahabatnya itu. Tak ada sahutan dari dalam. Pintu tetap bergeming. Kembali dipanggilnya, tetap tak ada yang menjawab. Hingga ia dengan inisiatifnya memutar gagang pintu untuk membukanya. Mereka langsung merangsek masuk. Di dalam, tak ada siapapun. Kasurnya masih tertata rapi. Spreinya pun tak kusut. Kompak Karen dan Nisa mengelus-elus tengkuk. Mereka saling menautkan tatapan.

BRAKK.. CEKLEK!

Karen dan Nisa terperanjat hingga terlompat-lompat ke luar kamar. Ruang tamu menjadi gelap. Dan yang tak mereka sangka adalah, Bu Daniar sudah tidak ada di sofa. Nisa berlari ke depan kamar Bu Daniar. Ia menggedornya, memanggil-manggil nama Bu Daniar. Lama tak ada jawaban, kenop pintu tak sengaja ia putar. Pintu terbuka. Di dalam, hanya sedikit cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela dan terbiaskan gorden warna hijau. Di sana pun, Nisa dan Karen tak menemukan Bu Daniar.

Mereka merasa dikerjai. Karen berdecak kesal lalu berlari ke arah pintu depan. Ia coba membukanya, tapi tidak bisa. Pintu depan mendadak terkunci. Karen dan Nisa dilanda kepanikan. Mereka berteriak meminta tolong, sesekali meneriakkan nama Toto.

GANDIT: Sempurnakan mati dan dendamku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang