TEMAN BARU

231 10 2
                                    

Pukul 21.16 ketika Dinar memeriksa jam di ponselnya. Mereka sampai di rumah Suci dengan sambutan tangis dari Tante Lia dan amarah dari Om Andri. Bersyukur di perjalanan tak ada hambatan sama sekali. Angkot yang ditumpangi pun dalam keadaan kosong. Hanya Si Supir yang terlihat panik mengendarai, karena ia mengira kalau Dinar dan teman-temannya sedang membawa mayat. Dan dengan kebaikan Toto pula, supir itu dapat dengan mudah diajak kerjasama. Sebagai tanda keseriusan, Toto kembali membayar supir angkot dengan wujud uang kertas berwarna biru.

Keadaan Suci yang lusuh tak hentinya membuat air mata Tante Lia keluar begitu deras. Om Andri pun demikian. Selain panik, dari sudut matanya telah keluar beberapa tetes air kesedihan.

"Suci, Suci, sayang!" dalam suara paraunya, Tante Lia beberapa kali memanggil-manggil nama Suci. namun tetap tak ada jawaban. Sukmanya seakan terbang entah dibawa kemana dan oleh siapa.

"Kalian nemuin anak saya di mana?" tanya tegas Om Andri. Urat-urat di keningnya begitu nampak menyeramkan.

"Di gudang makanan kaleng di supermarket deket sekolah, Om. Dan ... dan Suci udah dalam keadaan begini," jawab Dinar menahan kepanikan.

"Dan kita juga belum tahu siapa yang buat dia jadi gini, Om, Tante," Karen melanjutkan.

Sesaat kemudian Om Andri menarik napasnya dalam-dalam sembari memejamkan mata. Beberapa kali ia ulangi itu. Hingga urat di keningnya perlahan kembali ke tempat persembunyiannya. Wajahnya pun perlahan menemukan kembali sebuah ketenangan.

"Om ucapkan terima kasih buat kalian. Mungkin besok atau lusa kalian datang lagi ke sini. Mudah-mudahan Suci udah baikan dan kita rayakan dengan makan-makan di sini," ucap Om Andri.

"Siap, Om," jawab Ines.

Hush, Ssstt, Karen memberi kode kepada Ines dengan melekatkan telunjuknya di tepian bibir.

"Sebelumnya makasih, Om. Tapi bagaimanapun, yang terpenting sekarang itu kesehatan Suci. semoga Suci bisa seperti sedia kala, Om," begitu ucapan Dinar di hadapan Om Andri dan Tante Lia.

"Kalo gitu, kita semua pamit, Om, Tante, besok kita udah harus masuk sekolah," pamit Dinar dengan nada sungkan.

"Iya, iya. Sekali lagi makasih, ya, Nar," kata Om Andri mewakili Tante Lia yang masih saja memanggil nama Suci, berharap respon.

***

Esok paginya di sekolah, wajah-wajah mereka yang terlibat dalam pencarian Suci kemarin sore, nampak muram. Awan-awan mendung seperti menaungi mereka. Berada tepat di atas kepala mereka. Namun, tak dapat ditepis juga kalau mereka menaruhkan harap pada yang Maha Kuasa supaya keadaan Suci segera membaik.

"Balik sekolah, elu mau ke rumah si Suci dulu?" tanya Karen kepada Dinar sebelum pelajaran dimulai.

"Iya, tadi sebelum bel masuk, gue sempet nelpon Tante Lia dulu. Alhamdulillaah, Ren, dia sekarang udah mau dikasih makan. Tapi sayangnya, belum bisa diajak ngomong," keluh Dinar, suaranya pelan. Matanya awas ke arah pintu masuk.

Pelajaran berlangsung seperti biasanya. Meski awan mendung masih menaungi Dinar dan kawan-kawan, tapi selama itu juga, mereka mencoba menepis segala kemungkinan buruk yang sering kali melintasi pikiran.

Dua jam pikiran Dinar berkecamuk dengan kondisi Suci. Beberapa poin penting yang diterangkan oleh guru pelajaran pun ada beberapa yang terlewat. Saat ini, sudah waktunya jam istirahat. Dalam langkahnya menuju kantin, Dinar merasakan getaran hebat dari ponselnya.

"Ya, Halo, Tante," sapa Dinar mengawali percakapan setelah mengangkat sambungan telepon dari Tante Lia.

Tak ada jawaban ... Tante Lia tak menjawab sapaan Dinar.

GANDIT: Sempurnakan mati dan dendamku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang