Chapter Four : Star of Hope

48 13 68
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Sudah hampir sebulan lamanya aku menetap di Cornelia Street.

Meski pun kesibukan yang kurasakan hampir tidak ada bedanya dengan ketika tinggal di Brooklyn, aku jauh lebih menikmati apa yang kukerjakan di sini.

Satu hal yang memicu stresku belakang ini adalah murid-murid yang masih belum bisa menerimaku sebagai guru mereka. Apakah anak-anak kecewa karena ternyata guru baru yang mereka dapatkan tidak sesuai ekspetasi?

Rasa cemas jika para murid akan membenci bidang yang mereka jalani karena akulah guru mereka semakin bersarang di pikiranku hampir di setiap malam sebelum mata terpejam.

Jika benang-benang masalah seperti ini mulai mengusut tak beraturan, aku akan berjalan-jalan di Cornelia Street dan sekitar untuk sekedar merasakan embusan angin di wajah yang seolah turut membawa masalahku bersama udara yang diembus.

Seperti mengetahui benang ilusi itu, Cornelia Street menawarkan suasana healing; memanjakan mata dengan sederet bangunan unik berbalut sederhana dan mempertemukanku dengan orang-orang ramah.

"Kalau gaji dan karirmu sebagai pengacara sangat bagus, kenapa melepasnya?" tanya Jouis yang sedang berjalan di sampingku.

Hari ini adalah hari minggu dimana kami berencana menghabiskan waktu bersama mengunjungi Washington Square Park—bisa dibilang alun-alun Greenwich—seperti yang telah kami bicarakan saat makan malam di Restoran Palma.

"Karena aku tidak bahagia saat menjalaninya."

Semilir angin musim gugur menerpa wajah tanpa permisi, membuat beberapa helai surai tersingkap. Suara daun kering tak sengaja terinjak mengiringi beragam topik obrolan.

"Tidak bahagia?"

"Maksudnya bukan aku tidak bersyukur karena mendapat gaji dan karir yang bagus. Hanya saja, aku ingin hidup dengan melakukan apa yang kuinginkan."

"Sayang sekali tidak semua orang menjalani sesuatu sesuai kemauan mereka sendiri dan berakhir tertekan."
Jouis menjeda kalimatnya sejenak untuk menyisir surai tebalnya ke belakang lalu melipat kedua tangannya. "Saat aku kuliah, banyak mahasiswa yang berakhir depresi karena jurusan yang mereka jalani bukanlah keinginan mereka tapi orang tua. Mereka tidak punya kekuatan untuk menguasai keadaan."

Aku tersenyum mendengar perkataan itu dan membalas, "Aku setuju. Aku sendiri pernah mengalami penderitaan yang mirip dengan para mahasiswa itu. Tapi bagi seseorang yang berani mencari jalan, aku pikir mereka tidak perlu berlama-lama berada dalam tekanan itu."

Ia tersenyum menyiratkan perasaan bangga dan menoleh kearahku. "Kau membuktikannya, Rosemary."

Jouis benar. Aku membuktikannya.

Saat pertama kali menjalani hal yang tidak sesuai keinginan, rasanya seperti terapung di tengah samudra yang tak bertepi. Semakin mengarungi air asin tersebut, lelah semakin melahap fisik dan emosional.

Cornelia Street || Jung JaehyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang