☁️ 2.5

6.5K 1.1K 718
                                    

Keputusan Sona untuk memberi ruang kepada Minho ternyata bukanlah pilihan terbaik untuk mereka berdua. Pada kenyataannya, hubungan Minho dengan Sona malah merenggang selama dua hari belakangan.

Minho masih terlalu sibuk menerima fakta tentang kematian sang istri, juga sedang susah payah memperbaiki hubungannya dengan Hari. Sementara Sona sibuk menjaga Somin serta mulai memindahkan barang-barangnya dari apartemen, kembali ke rumah yang sejak kecil selalu terasa besar dan sepi untuknya.

Selama itu, sebenarnya Hari tidak lagi marah pada Minho. Hanya saja Minho merasa anaknya lebih membatasi diri. Dia bicara seperlunya saja sekarang. Padahal dulu, Hari dijuluki radio berjalan karena tak pernah kehabisan bahan untuk bercerita.

Tak terbiasa dengan keseharian yang seperti itu, hening dan membosankan, akhirnya setelah makan malam Minho memberanikan diri menemui Hari di kamarnya.

Saat itu masih pukul delapan. Waktu dimana biasanya mereka sedang menonton televisi atau sekedar berbincang di ruang keluarga sambil menikmati potongan buah. Tapi saat ini, Hari terlihat mengurung diri di kamar.

"Boleh Papa masuk?" tanya Minho setelah mengetuk pintu.

"Eung. Boleh," jawab Hari dari dalam sana.

Minho melangkah masuk, lalu memposisikan diri duduk di sisi ranjang yang Hari tempati. Anak itu memerhatikan gerak-gerik Minho sambil menarik selimutnya hingga menutupi bagian mulut.

"Hari masih marah sama Papa?" dengan suara rendah nan lembut, Minho bertanya.

Bocah itu menggeleng. "Hari cuma ngantuk."

Mendengarnya, Minho tersenyum. Hari bukan tipikal anak yang pintar bohong. Sudah jelas dia merasa canggung dengannya saat ini. Minho terlihat menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan.

"Papa, apa lukanya masih sakit?" tanya Hari kembali bersuara. Yang Hari maksud adalah luka pada wajah Minho.

Sebenarnya sejak hari dimana Minho mendapatkan luka, Hari sudah bertanya-tanya dalam benaknya. Apa yang terjadi, kenapa bisa mendapat luka, bagaimana keadaan Minho setelah itu? Namun bocah itu baru memiliki keberanian untuk bertanya sekarang. Saat emosi sang Ayah sudah terlihat lebih stabil dari sebelumnya.

"Sudah baikan, seperti yang Hari lihat. Tinggal bekas lukanya aja," jawab Minho. Tangannya terulur untuk merapihkan rambut Hari. Dia senang anaknya bertanya seperti itu.

"Ngomong-ngomong, Hari tau nggak, kalau cantik dan pintarnya Hari nurun dari siapa?" Hari tak menjawab, menunggu Minho melanjutkan kalimatnya.

"Dari Mamanya Hari. Mama Jisu alias Mama Lia."

"Kenapa bisa?" tanya bocah itu polos.

"Mama Lia terkenal di sekolah karena cantik. Mama Lia juga rajin belajar, makanya pintarnya nurun ke Hari. Sifat Hari yang selalu ceria dan mau berteman sama siapa aja juga nurun dari Mama."

"Terus Papa nyumbang apa?"

Minho menoleh dengan matanya yang membulat. Bagaimana bisa anak berusia enam tahun mendeklarasikan pertanyaan seperti itu?

"Papa? Hmm... Papa nyumbang mata yang besar dan bulu mata yang lentik ke Hari kayaknya," jawab Minho sambil menunjuk indera penglihatan Hari yang sangat indah.

Hari berdecak. "Dikit banget."

Papa nurunin sifat sarkas mungkin ya? Minho membatin seraya tertawa pelan.

"Intinya Papa bersyukur karena Hari tumbuh jadi anak yang cantik, pintar, dan ceria kayak Mama Lia."

Sebagaimana khasnya anak kecil, mereka selalu memiliki rasa penasaran yang tinggi. Begitu juga dengan Hari yang kini mulai bergerak menurunkan selimut hingga dibawah dagu untuk bertanya.

unmade plan • lee knowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang