1. Terlambat

18 6 7
                                    


Happy Reading🤗

Suara adzan subuh berkumandang merdu membangunkan seluruh manusia, terutama yang tinggal di rumah megah berlantai empat untuk segera memenuhi panggilan dari Pencipta-Nya yaitu, salat. Terdengar derap langkah dari seorang laki-laki paruh baya yang sudah memakai baju koko lengkap dengan sarung dan pecinya sedang menaiki satu per satu anak tangga, hendak menuju lantai paling atas.

Di lantai tersebut terdapat tiga kamar berdampingan. Kamar pertama di dekat tangga, kamar kedua diapit oleh dua kamar dan kamar ketiga atau terakhir sekaligus satu-satunya yang berpenghuni terletak di bagian ujung. Namun, laki-laki paruh baya itu memilih yang terakhir. Dia menggerakkan tangan untuk memegang handle pintu. Setelah, diketahui jika pintu kamarnya masih dikunci, dia lantas mengetuknya menggunakan tangan yang sebelahnya. "El, bangun ... udah subuh," ucapnya.

El yang terbaring di atas ranjangnya pun menggeliat seraya menjawab, "Hmmm."

"Salatnya di Mesjid, yuk, bareng Papa sama yang lainnya," ajak Papanya.

El memeluk guling. "Kalo mau ke Mesjid, ke Mesjid aja, nggak usah ajak-ajak gue," tolak El dengan suara serak khas bangun tidur.

Dari balik pintu Papanya mengelus dada. Berkali-kali dia mengajak El untuk melaksanakan salat berjama'ah di rumah atau Mesjid sekalipun selalu saja ditolaknya. Sejauh ini dirinya sudah berusaha keras agar bisa menjadi seorang Papa yang baik untuk El, dia sungguh bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah supaya dimaafkan dosa-dosanya yang telah lalu. Dia juga berdo'a semoga kelak, El bisa berubah.

"Ya, udah, Papa ke Mesjid dulu, ya, takut telat," pamitnya, "Kamu juga, bergegas ambil wudhu, jangan tidur lagi!" Papanya pun berlalu. Sedangkan, El kembali melanjutkan tidurnya.

Matahari memancarkan sinarnya, Papa El telah siap untuk pergi ke kantor. Dia pun berjalan melewati meja makan yang sudah tersedia segala macam jenis makanan, baik berat maupun ringan. "Bi, El, belum turun?" tanya Papa El kepada pembantu rumah.

"Belum, Agan."

Papa El melirik arloji di pergelangan tangannyanya, lima menit lagi meeting akan dimulai. "Bi, tolong bangunin, El, ya, saya ada meeting. Kalau, nggak bangun-bangun siram aja pake air."

Pembantu itu mengangguk. "Agan, nggak mau sarapan, dulu?"

"Tidak, Bi, nanti aja di kantor." Papa El melangkah menuju keluar. "Baimmm! Kita berangkat sekarang."

Dari arah kanan pintu muncul sosok laki-laki yang disebut Baim. "Baik, Pak."

Setelah kepergian Papa El, sang Bibi  berniat hendak membangunkan anak majikannya itu. Namun, tanpa disangka El sudah turun dan kini berada tepat di depannya. "Eh, Aden," kata Pembantunya sambil gelagapan, "Sarapan, dulu, Den, Bibi udah siapin menu favorit Aden."

El memajukan wajahnya. "Bibi, sakit?"

"Enggak, Bibi sehat. Cuma sedikit kaget liat Aden yang tiba-tiba udah di sini," ujarnya.

El mendudukkan dirinya di kursi. "Aku, bukan jelangkung kali, Bi, nggak usah kaget gitu."

Selama delapan tahun Ocih—pembantunya—bekerja di rumah ini selalu melihat sosok El dalam sudut pandang lain seperti, seorang laki-laki baik hati, patuh, humble, humoris dan mementingkan orang tua. Dia suka heran, jika majikan beberapa kali meminta maaf padanya atas perlakuan Sang anak. Padahal, El tidak pernah berbuat aneh-aneh ataupun menyusahkan dirinya.

Selain tampan, anak majikannya juga pintar. Awalnya, Ocih sedikit kebingungan saat pertama kali kepala sekolah menghubunginya untuk ke sekolah, dia mengira jika El dipanggil sebagai siswa yang membanggakan, eh, ternyata dikarenakan El tidak masuk sekolah sebulan. Namun, semakin ke sini dia mengerti dan memahami sikap El, meski Ocih tidak tahu alasannya.

Ya, Ocih melamar pekerjaan ketika Mama El sudah tiada, jadi dia tidak mengetahui seluk-beluk keluarga ini. Dia hanya tahu jika Nyonya majikannya itu meninggal karena terserang penyakit. Dan, sejak saat itulah Ocih, perlahan mulai menyayangi dan menganggap El sebagai anaknya.

Usai menghabiskan sarapannya, El berdiri. "Bi, berangkat," pamit El sambil mencium tangan Ocih.

Ocih mengusap pucuk kepala El yang menunduk. "Hati-hati. Kalo perlu, sekolahnya jangan bolos lagi, malu, udah jadi senior."

El terkekeh kecil. "Bibi, juga nggak boleh genit sama Mang Baim, malu, udah tua," balasnya.

Ocih jengah dengan ucapan El. "Aish, Aden. Oh, ya, ini 'kan hari senin pasti bakalan ada upacara Bendera, cepetan berangkat!"

"Ah, nggak asik, Bibi ngalihin pembicaraan."

.
.
.

Dengan begitu santainya El turun dari motor tanpa membuka helm. "Pawok, buka gerbangnya, gue mau masuk."

Satpam yang berdiri membelakangi menoleh ke sumber suara. "Hah?"

El membuka kaca helm. "Buka gerbangnya," katanya mendekatkan mulutnya ke daun telinga Pak Satpam.

"Bukan, sebelum itu," elak Satpam.

El diam sejenak, lalu berkata, "Pawok?"

"Iya, Pawok apaan?"

"Tapi, buka gerbangnya, gimana?" El menyilangkan tangannya di dada.

"Tidak akan, kamu, udah telat sejam!" pekik Satpam.

El mundur selangkah. "Semoga Pawok mati penasaran," putus El.

Lantas, Pak Satpam membuka gerbangnya, tapi secara pelan-pelan agar suaranya tidak terdengar sampai lapangan upacara. "Pokoknya, kalo ketauan jangan bawa-bawa nama saya."

El berbalik dan menyeringai. "Siappp, Pawok!"

El mendorong motornya ke parkiran, membuka helm dipakai, merapikan jaket kulit yang dipakainya dan menyugar rambut ke belakang. Dia berlari kecil untuk memberitahukan sesuatu kepada Pawok. "Pawok, sini!" Satpam mendekat.

"Lebih dekat," suruh El, "Telinganya buka selebar mungkin."

"Pawok itu, Bapak Brewok," bisik El pada Pak Satpam.

Satpam melotot. "Kurang ajar!" El menjawab lewat jari telunjuk yang disimpan di bibirnya.

"Shuttt ...." Kompak mereka berdua. El pamit untuk masuk ke kelas. Daripada mengikuti acara yang membuatnya jenuh dan ingin pulang, mendingan El diam di kelas, secara 'kan ada AC yang mendinginkan.

"Satpam, bodoh!"

El berjalan melewati koridor sembari mengendap-ngendap. Matanya mengabsen kiri kanan, depan belakang, takut jika ada sebagian anggota OSIS yang berjaga. Dan, benar saja tak jauh dari jaraknya berdiri ada salah satu anggota Osis berjenis kelamin laki-laki menatap ke lantai bawah yang berarti lapangan upacara.

Akhirnya, El mengambil arah lain. Dia melangkah mundur, mundur dan mundur hingga punggungnya menubruk sesuatu yang terasa sama seperti punggung juga. "Mati, gue!"

Dia membalikkan tubuhnya. "Lu, pada ... ah, elah, kirain siapa," putus El.

"El, Ya Allah ... kita nunggu, lu, dari tadi!"
Ternyata, El hanya menubruk punggung tiga orang yang diketahui teman-teman sablengnya. Bukan guru atau salah satu dari anggota OSIS.

"Lu, bertiga terlambat juga?"

"Ya, iyalah!" sahut ketiganya.

El memperingati mereka seperti kepada Pak Satpam. "Kenapa, nggak nungguin, gue, sih?"

"Justru, kita terlambat karena nungguin, lu!" Lagi-lagi mereka menjawab kompak.

"Berisik kampret!"

"Gue, Noval and Gio nungguin lu, di pertigaan," jelas Azka.

Noval dan Gio ikut mengiyakan. "Satu jam, lho, kita kira, lu, nggak bakalan sekolah," imbuh Noval.

Gio menambahkan, "Makanya, kita tinggalin!"

"Kalian itu, bodoh atau kurang pinter? Zaman sekarang, kalau nggak ada kepastian, ya, hubungin!" tegas El.

Mereka bertiga saling pandang berusaha memahami maksud El. "Ohh ... maksud, lu, telepon!"

"Hei, kalian!"




TBC•

To be a continued 🌻





Dia Yang TerhalangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang