Nightmare

37 6 0
                                    

Jika malam pertemuanku denganmu adalah malam terbahagia yang aku harap tak akan pernah berakhir. Maka malam ini adalah malam mengerikan yang aku harap hanya mimpi buruk. Meski keinginanku terdengar terlalu muluk, karena aromamu saja sudah tak bisa lagi ku hirup.

 Meski keinginanku terdengar terlalu muluk, karena aromamu saja sudah tak bisa lagi ku hirup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mungkin ini akan menjadi malam terakhirku melihat tawa mereka. Tawa yang seolah-olah sedang mengajakku untuk tertawa bersama. Setelah tadi berdebat persoalan rasa dengan Mahesa, kami berdua bertingkah seperti tak terjadi apa-apa. Padahal badai itu baru saja menerpa.

Aku mendekati Tasya yang kini sedang asik bercengkrama dengan Azan dan Dipta. Sedangkan Kelvin dan Kanaya sibuk berdua. Mahesa, entahlah. Entah apa yang dipikirkannya. Lelaki itu sedari tadi bahkan hanya menunduk. Melihat sepatu yang ia gunakan basah begitu saja.Hujan masih belum reda, bahkan semakin kencang seolah-olah hujan malam ini tak akan berhenti hingga matahari terbit esok hari. Diam-diam aku melirik Mahesa. Rasanya seperti kembali pada saat kami pertama kali bertemu. 

Terlalu canggung.

Mahesa berhenti dari aktifitasnya memperhatikan sepatu basah itu saat ponselnya berdering. Lelaki itu beranjak dari meja tempat kami duduk. Membentang jarak yang cukup jauh. 

Pikiranku berkecamuk, menerka-nerka dengan siapa kini Mahesa berbicara. Aku tak suka, tapi aku juga tak punya kuasa apa-apa.

Azan mendekat, ia yang tadinya duduk disebelah Tasya langsung bangkit saat mendengar pesanan bakso kami telah selesai. Menuju gerobak bakso tempat penjual meracik makanannya lalu kembali membawa dua mangkok bakso di tangan, dibelakangnya menyusul Dipta dan Kelvin. Enam mangkok bakso kini sudah berada di meja, tinggal satu mangkok lagi milik Mahesa.

Tadi. Setelah aku menyelesaikan percakapan dengan Mahesa. Aku dan yang lainnya sepakat untuk mencari sebuah tempat makan, paling tidak bisa memberi kami tempat untuk berteduh dan mengisi perut keroncongan yang tiba-tiba saja minta diisi karena kedinginan. Pinggiran ruko tempat kami berteduh sebelumnya sudah tak lagi mempan melindungi kami dari curah hujan yang semakin tinggi.

"Mahesa telfonan sama siapa?"

Aku menoleh menatap ke arah Azan yang sudah duduk di sebelahku, menggantikan posisi Mahesa. Lelaki itu gelagapan saat pandangan ku tak sengaja berserobok dengan netra hitam miliknya. 

"Kamu udah tau Zan?" tanyaku, tapi kuusahakan suaraku sepelan mungkin. Kelvin yang tadi bertanya kulihat masih menodong Pradipta untuk menjawab pertanyaannya. Azan menggaruk kepalanya yang aku tebak tidak gatal sama sekali.

"Tau apa?" balasnya tak kalah pelan.

"Soal Mahesa yang udah punya pacar."

"Ha? Mahesa yang bilang gitu ke kamu?"

Bola mata lelaki itu membesar, tapi aku tau itu reaksi yang sengaja dibuat-buat. Sekali lagi, kulirik Pradipta yang masih tak memberi jawaban atas pertanyaan Kelvin, dari sini aku simpulkan bawah Azan dan Pradipta sudah mengetahuinya, hanya Kelvin dan Kanaya yang belum tau.

Dismiss (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang