Saat Ice hendak pergi ke dapur untuk mengambil jeli sesuatu yang dilihatnya di kamar Halilintar menarik perhatiannya hingga membuatnya memasuki kamar Halilintar dan menaiki kasur Halilintar. Kedatangannya juga membuat Halilintar menoleh.
"Minta." Kata Ice sambil merogoh bungkus cheetos yang Halilintar pegang.
"Kalo soal makan aja gercep ya."
"Aku hidup untuk makan."
Halilintar menghela napas sambil memutar bola matanya.
"Dimana-mana makan tuh untuk hidup. Bukan hidup untuk makan."
"Beda dikit doang."
"Bukan dikit itu mah." Halilintar pun ikut merogoh bungkus cheetosnya.
Saat tangannya bersentuhan dengan tangan Ice yang masih berada di dalam bungkusnya ia mengangkat sebelah alisnya. Setelah memakan cheetosnya Ice hendak menghisap bumbu yang menempel di jari-jarinya namun pergerakannya terhenti karena perkataan Halilintar.
"Coba sini tanganmu."
"Tangan yang ada bumbunya, yang nggak ada bumbunya, ato dua-duanya?"
"Kamu emang maunya yang mana?"
"Yang nggak ada bumbunya aja. Soalnya yang ini mau dicemilin." Ice melihat tangan kanannya yang terbalur bumbu kemudian mulai menghisap jarinya satu-persatu sedangkan Halilintar hanya bisa menghela napas mendengar jawabannya.
Setelah ia memberikan tangan kirinya Halilintar langsung menggenggamnya. Ice yang memperhatikan tindakan Halilintar sedari tadi hanya diam dengan tatapan bingung.
"Tanganmu dingin banget ih. Kamu kedinginan apa gimana?" Halilintar mengernyitkan dahinya.
"Aku baik-baik aja. Mungkin kulitku nyerep angin."
"Serius." Halilintar menatap Ice sebal.
"Iya, aku jawabnya sepenuh hati kok."
"Kumakan juga nih anak." Batin Halilintar.
"Ngomong-ngomong sampe kapan kamu mau megang tanganku?"
"Entahlah." Halilintar mengeratkan genggamannya beberapa kali untuk lebih merasakan dinginnya kulit Ice. "Ini bisa kumanfaatin kalo kipas sama AC rusak."
"Kamu nggak berencana motong tanganku kan?" Ice memasang wajah sedih.
"Ya nggaklah. Aku nggak sejahat itu kali." Halilintar menaruh tangan Ice di pipinya. "Sumpah, dingin banget kayak es. Kamu makan apaan sih?"
"Aku makan segalanya. Lagian aku kan emang Ice." Ice mencolek hidung Halilintar. "Btw kalo kamu masih mau makan cepet makannya. Ntar keburu abis."
Halilintar tertawa hambar saat melihat isi bungkus cheetosnya yang sudah berkurang banyak. Karena terfokus pada tangan Ice ia didahului oleh Ice yang terus memakannya di tengah obrolan mereka.
"Abisin aja." Halilintar memilih mengalah agar Ice senang.
"Yeeey ...."
⛄
Minggunya tujuh bersaudara itu berencana pergi ke Dufan. Mereka pergi dengan mobil yang dikemudikan oleh Taufan. Setelah Taufan mengeluarkan mobilnya dan Gempa mengunci gerbangnya keenam orang yang masih berada di luar itu pun memasuki mobil.
Gempa memilih duduk di samping Taufan. Blaze dan Thorn memilih memojokkan diri di belakang agar lebih leluasa melakukan berbagai hal pada Solar yang terkepung dengan tidak berdayanya di antara mereka. Sementara Halilintar yang duduk di tengah sambil melihat ke depan pun menoleh begitu Ice duduk di sampingnya.
Setelah hampir 15 menit mobil berjalan Ice yang tadinya sedang melihat penjual makanan yang tersebar di pinggir jalan meraih tangan Halilintar yang tengah bertopang dagu di jendela. Karena Halilintar sudah pernah menggenggam tangannya dalam waktu yang lama entah kenapa ia jadi ingin menyentuh tangan Halilintar.
Namun alih-alih menggenggamnya Ice malah memperhatikan telapak tangan Halilintar yang terbuka itu dengan kedua tangannya yang memegang tangan Halilintar dan merabanya sesekali. Halilintar yang tadinya melihat lurus ke depan pun mulai memperhatikan tindakan ice dengan heran.
"Kayak anak kecil aja." Tindakan Ice ini memang seperti anak kecil tapi tidak bisa Halilintar pungkiri bahwa itu juga terlihat menggemaskan hingga membuatnya tersenyum tanpa sadar.
"Apa ada sesuatu yang menarik di tanganku sampe kamu ngeliatinnya gitu banget?"
"Ada."
"Apaan?"
"Tanganmu lebih gede daripada tanganku. Liat nih." Ice menyatukan tangannya dengan tangan Halilintar untuk membandingkan ukurannya. "Tanganmu juga hangat. Menurut aku itu cukup menarik." Kemudian menggenggam tangan Halilintar.
"Aku nggak ngerti apa yang anak ini pikirin. Tapi aku lebih nggak ngerti kenapa jantungku nggak nganggep kelakuannya ini sebagai sesuatu yang normal."
Halilintar membalas genggaman Ice.
"Tanganku hangat hanya untukmu. Kalo kamu butuh kehangatan akan kuberikan."
"Begitu ya?" Ice bersandar di bahu Halilintar kemudian menutup matanya sambil tersenyum dengan semburat merah menghiasi wajahnya. "Makasih."
"Mau tidur?"
Ice mengangguk. Tak lama setelah ia tertidur Halilintar meliriknya kemudian pandangannya beralih pada tangan mereka yang masih bergenggaman. Beberapa saat kemudian ia ikut menutup matanya.
"Beruang kutub ini imut juga." Halilintar mengeratkan genggamannya.
END
KAMU SEDANG MEMBACA
Frosela
FanfictionHalice adalah kapal langka. Meski jarang yang ngeship aku nggak bakal nyerah mewujudkan zona nyaman buat kapal ini P.S: Maaf kalau ada kesalahan atau hal-hal yang tidak berkenan dari cerita ini. Terima kasih 🙏❤️