Calling || 02

20 7 1
                                    

Aku, Aaric dan Arthur memandangi Garvin yang menggendong Brisia diatas pundaknya. Dengan tinggi badannya dan juga Brisia yang ada diatasnya, sepertinya Brisia bisa mengintip rute labirin dari sana. Jadi begitulah Garvin bisa menemukan rutenya.

"Ke kanan lalu kekiri maju kedepan melewati tiga gang, lalu belok kanan..." aku tak lagi mendengarkan ucapan Brisia yang kini sedang dicatat Garvin dan juga Arthur disebelahku.

Aku memandang Aaric yang menganggur. Menyenggolnya dengan siku, "Gendong juga dong," pintaku.

Aaric menggidikkan bahu namun ia tetap berjongkok didepanku, membuatku tersenyum senang lalu naik kepundaknya. Perlahan ia berdiri, membuatku kini bisa melihat labirin dari atas, aku bisa mengingat rute yang tadi Brisia ucapkan. Aku mengikuti rutenya dan memang benar, membuat keraguanku pada gadis itu berkurang. Kupikir gadis itu akan sengaja membuat kami berkeliling hingga kelelahan.

Aku mengode Aaric untuk turun. "Thank you Aaric," ucapku setelah turun. Kusadari Aaric memang tinggi dan pantas saja menjadi kapten tim basket. Tetapi, kulihat lihat, tiga lelaki disekitarku memang tinggi tinggi. Lagi lagi aku seperti cerminan penghapus diantara pensil. Brisia juga termasuk tinggi diantara para gadis.

"Arthur, lo tahu? Kali pertama gua ketemu Callia, dia lagi manjat sisi labirin lalu akhirnya sampai diatas setelah banyak usaha. Dia cuma sebentar diatas, lalu hilang keseimbangan, terus jatuh," tiba tiba Aaric bicara panjang lebar tentang hal memalukan yang kulakukan setelah Arthur selesai mencatat rute, Garvin dan Brisia juga sudah selesai dan kembali berdiri bersisian.

Mendengar ucapan Aaric, Arthur dan Garvin kompak memandang Callia. Membuat Callia risih dan memukul lengan Aaric dengan kesal.

Aaric tertawa kecil seraya mengelus lengannya. "Apa yang pertama kali gua pikirin? Bukannya seharusnya jika seorang gadis terjebak di labirin seorang diri, ia akan menangis dan meratapi nasib? Mengapa gadis itu justru bertekad memanjat sisi labirin yang berakhir dengan dirinya yang jatuh? Disimpulkan ia gadis pantang menyerah yang bisa menghadapi situasi apapun," lagi dan lagi Aaric bicara panjang lebar. Membuatku memandangnya dengan mulut menganga, kalimatnya bukannya sedang memujiku? Aku tersenyum tertahan.

Lelaki ini lumayan juga membuatku berbunga bunga.

Aku memukul lengan Aaric lagi, "Berisik," kataku.

Aku mengalihkan pandangan untuk menemukan Arthur yang memberi kedua jempolnya padaku, "Keren Cal," ucapnya yang lantas membuatku tertawa.

Mengalihkan pandangan lagi untuk mendapati Garvin sedang memandangku lekat, langsung kualihkan dan menemukan Brisia yang memandangku tajam dengan mimik wajah tak suka, kali ini aku tersenyum kecil padanya.

"Ayo lanjut perjalanan, jangan sampai kita disini sampai malam," Brisia menginterupsi sambil meraih lengan Garvin, membuatnya berbalik dan mengajaknya melangkah. Aku tersenyum kecil melihatnya, sepertinya gadis manja itu kepanasan dalam dirinya.

Aku dan dua lelaki disisiku ikut melangkah mengikuti mereka. "Sayang banget, bukan gua yang pertama ketemu lo," ujar Arthur.

Aku menggeleng, "Itu memalukan, Aaric aja nih biang keladinya, kamu mau bikin aku malu ya?" pandanganku kini tertuju pada Aaric.

Aaric menggeleng, ia mendekat, refleks aku menjauhkan kepalaku, namun ternyata ia mau membisiki sesuatu. Makanya aku mendengarkan dengan cermat. "Gua cuma mau bikin Garvin gak natap lo kayak gak suka gitu," bisiknya. Memang sepertinya taktik Aaric lumayan berhasil, hal ini bisa membuat Garvin merubah pandangannya padaku.

Alisku mengerut, kali ini balas membisikinya. "Kenapa emangnya? Kamu pikir aku suka sama Garvin?" bisikku.

Aku menjauh untuk mendapat gelengan dari Aaric, "Lo gak suka sama dia, tapi gua gak suka liat dia natap lo kayak gitu," Aaric berbisik seakan mengetahui bagaimana hatiku bekerja. Namun kata katanya membuatku membuang muka menyembunyikan pipiku yang kuyakini memerah. Aaric ini mudah sekali membuatku salah tingkah ya. Mungkin dia ini playboy.

CallingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang