Calling || 07

14 6 1
                                    

Aku melangkah dengan riang. Pagi pagi sekali, pengawal Aaric datang ke kamarku untuk menyampaikan pesan dari Aaric. Yang isinya ialah mengajakku berjalan jalan keluar Istana. Tentu saja aku merasa senang, sebab sejak kemarin aku ingin melihat seperti apa tampak kota di kerajaan Axton ini.

Langkahku sesekali meloncat riang. Evania yang mengikuti dibelakang memandang majikannya itu dengan bahagia. Ini pertama kalinya Evania melihat majikannya itu terlihat sangat senang. Namun berbeda dengan Brisia yang juga mengikuti dibelakang Callia, ia justru memandang Callia dengan tatapan tajamnya.

Mengingat kembali kata kata Garvin yang menyarankannya untuk mencoba akrab dengan Callia. Sejak awal, Brisia memang tidak menyukai kehadiran Callia. Gadis cantik yang terlihat polos itu membuatnya tak nyaman. Apalagi memikirkan bisa saja Garvin menyukainya. Brisia mendengus kesal.

Perbedaan kasta yang mencolok ditempat ini bahkan membuatnya terlihat kalah telak. Bila Garvin akan menikah, sebagai seorang Pangeran maka ia pasti menikahi seorang putri ataupun bangsawan. Namun mengingat kastanya yang merupakan pelayan, Brisia kembali memupuk amarah didalam hatinya.

Aku sempat menoleh kebelakang dan melihat wajah berpikir Brisia yang penuh aura tidak bagus. Aku mengangkat bahu, mengabaikannya.

Sampailah kami didepan Istana. Saat pandanganku menatap Aaric yang sedang berbincang dengan pengawalnya, aku langsung menghampirinya. “Aaric,” panggilku yang membuat pengawal Aaric langsung bergerak menjauh memberiku dan Aaric tempat bicara berdua.

“Pagi, gaunmu cantik,” balasan Aaric membuatku menatap gaun yang kupakai. Gaun berwarna biru langit yang memang cantik dan mewah membuatku tersenyum lebar.

Menundukkan kepala, “Terimakasih,” kataku.

“Kita hanya berdua?” tanyaku yang tak menemukan orang lain lagi, baru saja aku menyadari bahwa hanya ada satu kereta kuda.

Aaric balas mengangguk. “Seperti kemarin, Arthur sibuk. Garvin, sudah pasti sibuk. Jadi hanya kita berdua, dan mungkin Brisia,” Aaric membalas. Saat mengucap nama Brisia, Aaric agak ragu. Aku juga jadi ragu apakah Brisia akan ikut jika mengetahui Garvin tak ikut.

“Aku akan kembali ke kamar. Aku tidak ikut,” dari jauh Brisia masih bisa mendengar percakapan keduanya. Maka ia mendekat dan menyuarakan keputusannya. Lagipula Brisia tak akan mau pergi bersama mereka, awalnya Brisia datang karena kemungkinan Garvin juga datang. Namun jika tahu akan begini, Brisia dari awal tak akan datang.

Brisia melangkah pergi. Membuatku dan Aaric saling memandang. Tapi kami akhirnya memutuskan melanjutkan kegiatan. Saat akan naik kereta, tangan Aaric terulur untuk membantuku naik. Aku terkekeh kecil dan menerimanya.

Perjalanan kami cukup baik. Ternyata untuk mencapai kota, kami butuh waktu agak lama, mungkin lima belas menit? Untuk informasi, para keluarga bangsawan, semuanya berada di kota kerajaan Axton. Tempat yang akan aku dan Aaric datangi.

Walau begitu, dijalan menuju kota, lewat jendela aku bisa melihat para warga yang sedang melaksanakan kegiatannya. Aku memandang mereka ingin tahu.

Kereta kami memasuki jalanan padat yang dilewati kereta kuda dan orang orang yang bolak balik. Kurasakan kereta kami berhenti, aku mengintip keluar jendela untuk mendapati kami berhenti disebuah rumah makan yang ramai.

Aku menoleh pada Aaric. “Kita sarapan dulu,” ajaknya, ia turun lebih dulu lalu membantuku untuk turun.

Saat Aaric akan mengajakku melangkah aku menghentikannya sejenak. Aku melepaskan tiara yang sedari tadi bertengger cantik diatas kepalaku, menyerahkannya pada Evania yang sudah siap dibelakangku.

Evania menerima tiaraku dengan wajah terperangah. Karena Putri Callia selalu memakai tiara itu saat akan keluar Istana untuk menunjukkan kepada semua orang tentang statusnya sebagai putri kerajaan.

Aku menata rambutku sebentar. Memakai tiara diantara orang orang ini, aku merasa aneh. Makanya aku melepaskannya. “Yuk,” ajakku pada Aaric.

Kami memasuki restoran cepat saji yang ternyata didalamnya ramai dengan pengunjung. Gaun warna warni yang dipakai pengunjung membuatku menipiskan kedua mata. Aaric mendekat ke telingaku, “Ini restoran terbaik di kota,” katanya yang kubalas anggukan paham.

Salah satu pekerja di restoran mendatangi kami dan menunjukkan jalan. Aku dan Aaric mengikutinya. Kami dibawa ke lantai dua restoran ini dan memasuki salah satu bilik yang ternyata sudah dipesan oleh Aaric. Aku menatapnya penuh pujian.

Pekerja yang mengantar kami pergi setelah Aaric memberitahukan pesanannya. Menu sarapan terlaris di restoran ini, itu kata Aaric.

Aku duduk diseberangnya. Mengamati bilik kami yang ternyata terbuka dan bisa melihat kebawah. Aku baru menyadari ada panggung dibawah sana, saat ini sedang menampilkan tarian yang lentur dan cantik dari wanita yang cantik pula.

“Bukannya seharusnya aku yang mengetahui hal ini? Mengapa malah kamu yang tahu, pangeran Aaric dari kerajaan Caldwell?” aku menodorkan pertanyaan dengan nada curiga.

Aaric tertawa kecil. “Pangeran Aaric yang asli, mencari tahu tentang kerajaanmu. Dokumennya bertumpuk dimeja kerja kamarnya. Aku membacanya dan menemukan restoran ini,” balasan Aaric membuat aku menjadi curiga.

“Apakah pangeran Aaric ini ingin mengambil alih kerajaanku?” pertanyaan penuh curiga yang kulayangkan justru membuat Aaric tertawa lucu.

Dia menggeleng. “Dia hanya mencari tahu. Sepertinya tidak ada niat seperti itu. Oh, dia sudah me-riview tempat ini, katanya makanannya sesuai dengan citranya, sangat enak,” aku mengangguk paham mendengar penjelasan Aaric.

Kini pandanganku kembali mengamati panggung dibawah sana yang ternyata sudah berganti. Namun alisku mengerut tidak mengerti mengapa banyak barang dikeluarkan dan diletakkan dipanggung itu.

“Apa itu Aaric?” Aku bertanya padanya, mungkin saja ia mengetahui hal itu, namun Aaric justru menggeleng tak tahu.

Aku kembali bertanya, namun kali ini pada Evania yang kupanggil, “Apa itu Evania?” tanganku menunjuk panggung itu.

“Lelang, yang mulia putri. Setiap sebulan sekali, restoran ini mengadakan lelang barang maupun hewan. Barangnya dijamin kualitas terbaik Putri,” dengan patuh Evania menjawab sambil menjelaskan, aku menganggukkan kepala mengerti.

Alisku kembali mengerut menemukan salah satu barang yang dilelang, “Ada tiara disana, apakah ada yang akan membelinya? Bukankah tak ada yang memakai tiara atau mahkota selain keluarga kerajaan?” kembali bertanya dengan rasa ingin tahu, tiara itu juga terlihat sangat cantik, jika tak ada yang berniat membelinya maka aku akan membelinya.

“Yang mulia putri, anda lihat diseberang sana? Dia adalah Nona keluarga bangsawan Carrington. Dia selalu membeli tiara yang dilelang disini, bagaimanapun caranya. Sudah menjadi rahasia umum, restoran ini menyediakan tiara khusus untuknya,” Evania menunjuk salah seorang gadis dengan gaun berwarna merah yang berada diseberang bilik kami.

Mataku mengerjap beberapa kali, “Mengapa ia selalu membeli tiara itu? Apakah ia memakainya? Atau... Dia berniat menjadi keluarga kerajaan lalu memakai semua tiara yang dibelinya?” aku bertanya penasaran, apalagi melihat kepalanya yang bersih dari tiara.

“Ia tak pernah memakai tiara yang selama ini ia beli. Memang sudah banyak rumor yang beredar bahwa Nona keluarga Carrington itu berniat menjadi Ratu, Putri,” balasan Evania membuatku termenung.

Aaric yang sedari tadi mendengarkan percakapan kedua gadis didepannya itu juga mengamati Nona keluarga Carrington itu. Gadis yang cantik dengan ambisi yang memang terlihat diwajahnya. Dia pasti sudah mengincar Garvin. Aaric terkekeh dalam hati, Garvin disukai dimanapun ia berada.

Aku tiba tiba mendapat ide yang menyenangkan, menerbitkan seringai diwajahku yang membuat Aaric memandangku waspada.

“Mau taruhan?”

**

CallingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang