Calling || 10

15 3 0
                                    

"Arthur, kamu sibuk banget? Kenapa baru keliatan?" aku menodong Arthur yang kebetulan bertemu didepan Istana. Saat aku baru saja sampai setelah kegiatan tinjau panti asuhan.

Raut lelah yang terpatri pada wajah Arthur membuatku khawatir. Dia menghela nafas pelan, "Bener bener numpuk banget kerjaannya, Callia. Ini gua baru keluar dari kamar," Arthur mengeluh.

"Sumpah gua gak ngerti, apa yang dilakuin nih Pangeran selama ini. Berkas kerjaannya numpuk dimeja, bahkan berkas yang hanya perlu ditandatangani aja gak dia kerjain," lanjutnya. "Kesel banget gua, anjing. Jadi ketua osis gak begini banget capeknya," nada kesalnya benar benar menguar diudara. Membuatku bisa ikut merasakan kekesalannya.

"Eh kamu dari mana?" Arthur bertanya yang kali ini sudah menggunakan aku-kamu kembali. Tentu saja setelah meredakan kekesalannya.

Aku menunjuk Garvin yang masih didekat kereta kuda, berbincang bersama pengawalnya dengan serius. "Tinjau panti asuhan," balasku.

Arthur mengangguk pelan, "Ah, tinjau. Aku juga ada tinjau lokasi hari ini, kayaknya bakal makan waktu beberapa hari," ucapnya.

"Beberapa hari?" tanyaku memastikan.

Dia mengangguk lemah, "Lokasinya bener bener jauh," jelas Arthur.

"Entah butuh waktu berapa hari," lanjutnya.

Aku menepuk bahunya pelan ikut prihatin.

"Callia ayo. Duluan ya Arthur," suara Garvin menginterupsi dua manusia yang sedang berbincang itu. Yang lelaki mengangguk menanggapinya. Yang perempuan mengangguk patuh dan mengikuti langkah Garvin setelah berpamitan dengan lelaki tadi.

Aku dan Garvin menuju salah satu ruangan dimana Ayahanda dan Ibunda sudah menunggu kami. Ruang bersantai. Mungkin ini akan menjadi quality time pertama yang kulakukan dengan keluarga baru ini.

"Kakak."

Langkah Garvin terhenti mendengar suara dari belakangnya. Dia menoleh untuk mendapati Callia yang tersenyum manis padanya dan ikut menghentikan langkah.

"Mulai sekarang, aku panggil kamu Kakak, oke?" gadis itu berkata dengan mudah.

Namun Garvin yang hanya mendengarnya justru merasa sulit. Ada perasaan aneh melingkupinya saat tahu Callia ingin memanggilnya Kakak. Walau pada akhirnya dia tetap mengangguk setuju dan kembali melanjutkan langkahnya.

**

Bukankah yang memiliki nama bersantai, tentu saja untuk bersantai? Namun mengapa sekarang aku justru terjebak dengan hal yang sama sekali tak kubayangkan. Ruang bersantai yang menjadi tujuanku dan Garvin sehabis pulang dari kegiatan tinjau, justru memaksa kami berpose selama bermenit menit lamanya.

Menggunakan pakaian yang senada, bernuansa merah dan hitam. Aku, Garvin, Ayahanda, dan Ibunda sudah terdiam ditempat masing masing selama beberapa menit. Pengaturan yang jika dilihat dari depan akan menampilkan figur keluarga yang sempurna.

Didepan sana terdapat dua pelukis paling handal di kerajaan Axton. Keduanya memiliki misi melukis keluarga kerajaan dengan sempurna tanpa celah.

Aku menguap bosan. Sampai akhirnya kedua pelukis itu mengangguk kompak, "Sudah cukup yang mulia."

Aku menoleh kearah keluargaku, mereka akhirnya bangkit dari posisi. Aku pun mengikuti, merasakan tubuhku pegal dan lelah. Namun aku dengan semangat mendekati kedua pelukis itu dan mengamati pekerjan mereka. Ternyata sudah setengah jalan, hanya tinggal membuatnya semakin detail dan hidup. Mataku berbinar memandangi kedua lukisan itu.

CallingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang