Calling || 05

14 6 1
                                    

“Katanya nanti dia nyusul, banyak yang harus diurus,” balasan Aaric membuatku mengangguk paham. Aku menanyakan keberadaan Arthur yang tak kuketahui dan itulah jawabannya.

Aku mengambil salah satu kue diatas meja, memakannya perlahan, rasa masakan di Istana ini memang menakjubkan.

Aaric berpindah duduk di kursi yang berada didekatku. Mengeluarkan sebuah kertas terlipat yang saat dibuka menampilkan sebuah peta. “Ini peta kerajaan Axton, dan ini tempat dimana kita datang. Labirin suci. Mau tahu kenapa namanya Labirin suci?” Aaric menunjuk sebuah daerah yang memang berbentuk labirin.

Aku menatap ingin tahu. Aaric pun menjelaskan. “Labirin ini dibuka untuk umum setiap tahun baru. Setiap bangsawan termasuk keluarga kerajaan akan memasuki labirin, lalu saat keluar dari labirin ini, mereka dianggap telah kembali suci. Rakyat juga mendapat bagian untuk menyucikan diri di labirin ini. Tetapi mengapa mereka yang mengitari labirin dibilang kembali suci? Ini karena kerajaan Axton percaya bahwa labirin memiliki sihir yang bisa menyucikan setiap orang yang memasukinya.” Aaric menghentikan penjelasannya dan meminta waktu untuk minum dan membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

“Maka setiap tahun baru diadakan kegiatan ini. Berharap semua orang yang memasuki labirin akan disucikan dan terlahir menjadi pribadi yang baru yang lebih baik dari sebelumnya. Bukankah itu artinya, kita telah disucikan?” Aaric menghentikan penjelasannya dengan memakan salah satu kudapan yang tersedia. Aku memukul bahunya pelan.

“Itu berarti, labirin itu memang memiliki sihir. Kita datang karena sihir itu. Sudah disimpulkan alasan kita disini adalah karena sihir. Perihal kita disucikan? Kita bukan disucikan tapi dibuat gila karena labirin itu,” simpulku.

Aaric mengangguk pelan. “Mungkin iya. Tapi bukankah masuk akal bagi orang orang disini? Kita hilang lalu ditemukan didekat labirin itu, pribadi kita berubah dari yang sebelumnya. Bukankah mereka akan menganggap bahwa kita telah disucikan? Ini bisa membantu kita menutupi perbedaan dari kita yang asli yang seharusnya disini.”

Aku terperangah, menunjuk Aaric dengan wajah berbinar. “Benar juga!!” kataku dengan semangat.

“Dari mana kamu tahu kalau pribadi kita berbeda dengan kita yang asli?” aku bertanya penasaran.

Aaric tersenyum tanpa makna. Aku merasa aneh dengannya, entah mengapa merasa tak suka dengan senyum yang sedang ia layangkan padaku.

“Tentu saja aku mendapat informasi. Pangeran Aaric ialah seorang yang tegas, disiplin, tidak suka didekat gadis, dan tidak suka manis. Ya mungkin aku disiplin, tetapi yang lain tidak betul,” jelas Aaric.

“Dan tentu saja aku juga mengetahui tentangmu. Putri Callia ialah seorang yang manja, yang setiap harinya dihabisakan untuk mengikuti pangeran Garvin, kakaknya,” kata Aaric.

Mulutku terbuka sedikit. “Aku?” dengan nada tak setuju seraya menunjuk diriku sendiri. Aaric tertawa kecil lalu mengangguk. Membuat mataku terbelalak tak setuju.

“Yah, itu Putri Callia, bukan kamu Callia. Aku tahu kamu tidak seperti dia. Tapi kamu harus tahu, Pangeran Garvin sangat menyayangi adiknya, oleh karena itu, ia tak keberatan bahwa Putri Callia mengikutinya sepanjang hari. Namun sepertinya informasi ini akan berubah? Mengingat bagaimana hubungan antara kamu dan Garvin sekarang?” Aaric berucap panjang lebar. Sepertinya ia sudah merasa nyaman, karena ia bisa melontarkan ucapan panjang sejak tadi.

Aku berdecih. “Mengapa putri Callia manja? Dan apa tadi, mengikuti pangeran Garvin sepanjang hari? Sebenarnya apa yang ingin dia lakukan. Kamu tahu Aaric, pelayan pribadinya sudah terbiasa membacakan jadwal pangeran Garvin padanya. Dan tadi ia membacakannya padaku, dan tebak apa yang kulakukan?” aku mengeluhkan putri Callia yang asli ini.

CallingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang