Mikrokosmos

399 23 4
                                    


Peluru berdesing, membelah udara. Tubuh pria itu rebah tertarik gravitasi, terbaring tanpa daya lantai beton dingin. Kesadarannya mengalir bersama cairan merah yang keluar dari luka di sisi kiri kepala. Netra gelapnya tak lagi fokus menangkap siluet wanita yang isak tangisnya semakin keras terdengar. Kepala wanita itu bersandar pada dada pria yang hampir tak punya tenaga--meski hanya untuk memompa jantung barang sejenak sampai paramedis tiba.

Kwonjoo tersentak, terbangun dari bunga tidur yang terasa begitu nyata, terduduk di atas kasur queen size berlapis seprai biru dongker. Gerakan mendadak yang ia lakukan membuat isi perutnya seumpama pakaian yang bergelung dan berputar dalam mesin cuci. Serta-merta wanita diakhir tiga puluh tahun itu memaksa tubuhnya bangkit menuju kamar mandi di sisi kiri ruangan yang gelap gulita. Dia tidak sempat menyesuaikan diri dengan sumber cahaya dari plafon sebab pikirannya tertuju pada makan malam yang meluncur bebas ke dalam lubang kloset. Tangannya yang mencengkeram dudukan, gemetar. Rambutnya yang lepek menempel di kening dan sisi wajah. 

Agak terhuyung, si perempuan berkaus hitam bangkit untuk membersihkan muka dan kedua tangan setelah mendorong residu muntahan dengan air yang bersumber dari tangki kloset. Kaus yang dikenakan saat akan tidur kini melekat di kulit, terasa tidak nyaman sama sekali. Kakinya yang tertutup celana tanggung abu-abu dengan berat melangkah menuju tempat di mana ranjang berada, menjadikan dinding dan perabotan sebagai penopang.

Lampu tidur yang berada di atas nakas memberi warna kekuningan semu di kamar. Suara air dijerang terdengar dari dapur, disusul bunyi laci kabinet atas yang dibuka. Ada dua bunyi yang  terdengar dari pertemuan benda-benda berbahan keramik. Penasaran, perempuan itu menggunakan energi yang masih tersisa untuk keluar dari tempat peristirahatan, menuju area memasak yang menyatu dengan ruang tamu dan ruang makan. Lampu yang berada di tengah ruangan besar itu tidak dinyalakan. Penerangan hanya digantungkan pada tiga lampu bundar yang menghuni plafon dapur, menciptakan siluet dari laki-laki yang masih belum menyadari presensi Kwonjoo. 

Saat ketel menyemburkan uap panas disertai bunyi pekikan udara, langkah kaki si laki-laki yang bertelanjang dada berubah tergesa kendati tetap terkalkulasi. Air yang dituang ke dalam sepasang gelas keramik membawa aroma peppermint kepada perempuan yang menumpukan sebagian besar bobot tubuhnya pada kosen pintu. Ia mengumpulkan tenaga sebelum menuju ruang makan, tempat meja kayu ringan berbentuk bujur sangkar dan kursi dengan material sama, menjadi pengamat atas situasi yang kerap terjadi selama tiga bulan ke belakang.

Laki-laki itu masih membelakangi Kwonjoo meski si perempuan berkulit putih sudah menarik kursi untuk duduk. Mahkotanya yang hitam legam bergesekan dengan dinding, memberi sokongan kepada kepala yang terasa melayang. Netra cokelat madunya mengamati laki-laki yang masih sibuk dengan minuman racikannya. Rambutnya yang menyentuh tengkuk mencuat kesana-kemari sebagai efek bergesekan dengan bantal (mungkin juga karena diacak-acak oleh jemari sendiri). 

Ketika berbalik, sorot khawatir diberikan berserta sekelumit rasa bersalah. Wajah kuyu istrinya bukanlah hal yang familiar, namun itulah yang dilakukan mimpi buruk dan morning sickness pada pukul dua pagi. Sang suami menghampiri Kwonjoo dengan langkah cepat, membawa dua gelas berisi teh peppermint yang sudah ditambah madu. Mereka mendarat dengan mulus di atas meja, sementara si pengantar membungkukkan badan untuk memeriksa kondisi perempuan yang memejamkan mata.

"Sudah lebih baik?"

"Mm-hmm,"

Suara istrinya yang lirih membuat Kangwoo merasa serba salah. Tangannya yang cokelat sebab berkawan dengan sinar matahari membawa kepala perempuan itu bersandar ke tubuhnya, jemarinya bergerak teratur memberi pijatan di belakang kepala, yang sangat disyukuri Kwonjoo. Tekanan dari jari-jari lelaki itu menghilangkan kabut yang dikenali dirinya sebagai rasa takut kehilangan dari pikiran. Kelopak matanya menutup, tangannya yang kurus melingkari pinggang sang suami, memastikan sekali lagi bahwa apa yang sedang ia alami adalah realitas. Hawa panas tubuh laki-laki itu nyata terasa di permukaan tubuhnya. Juga aroma alami yang sangat Kwonjoo sukai. Ia bisa merasakan tangan kiri suaminya turun dari wajah, membelai bahu hingga lengan sebagai bentuk simpati. 

Hortensia Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang