Phosphenes - Part 3

214 14 13
                                    


[PERINGATAN!

Memberi gambaran eksplisit dari aksi pembunuhan. Dimohon kebijaksanaan dari pembaca.

Terima kasih.]

.

.

- even if the surrounding unhappiness covers me

when you hold my hand, it becomes a light -

.

.

Lari, Kang Kwonjoo.

Kwonjoo bisa mendengar suara napasnya sendiri yang terengah-engah, alas kaki yang berisik saat bersentuhan dengan dedaunan kering, serta gesekan antara chima dengan sokchima meski kedua tangannya sudah mengangkat kain lebar itu.

LARI.

Batang-batang pohon terlewati dengan cepat, selebihnya hanya ada kelam malam yang mengisi penglihatan. Tidak ada alat komunikasi nirkabel yang tersemat di telinga, pun HT dalam genggaman--perempuan itu tidak yakin alat canggih tersebut eksis di era Joseon. Hanya suara dalam kepalanya yang menjadi acuan, memerintah kedua kaki untuk tetap mendorong tubuh ke depan dan jangan pernah berhenti.

LARI ATAU KAU AKAN MATI!

Mengabaikan intuisinya, tangannya meraih binyeo yang menahan gelungan rambut segelap arang sebagai alat pertahanan diri. Perempuan itu lantas memutar tubuh, bersiap menghadapi siapa (atau apa) yang mengejarnya. Pupilnya melebar saat melihat sosok yang membayangi langkahnya. Kaki yang nyaris tidak menapak. Bibir yang dipoles keagungan lembayung. Rambut cokelat karamel yang kusut masai, menyeruak dari tudung jubah hitam yang dikenakan. Kilatan di mata sosok itu yang setajam belati dalam genggaman.

Bilah keperakan itu mengoyak pakaiannya, kulitnya, merobek daging, membuka jalan bagi hemoglobin untuk melepaskan diri dari pembuluh darah.

Park Eunsoo menatap area perut bagian kiri dari wanita di hadapannya, corak semerah kamelia menyeruak, memberi warna pada hanbok putih yang tak menarik. Pupilnya yang serupa reptil membesar, melukiskan kegembiraan melihat benang-benang putih berubah warna saat menyerap cairan merah itu, apalagi ketika ia menggerakkan belati kesayangannya membentuk pola zigzag. Mendekorasi target adalah bagian favoritnya setelah menuntaskan perburuan.

Erangan dari targetnya mengalahkan dersik dari celah-celah pepohonan. Wajah pucat wanita aristokrat yang biasanya tak banyak menunjukkan ekspresi, jelas menampakkan raut sedih, kecewa, dan marah yang melebur jadi satu.

Oh, menarik. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas. Atensinya beralih kepada dua bayangan yang sama sekali tak berniat menyembunyikan presensi. Eunsoo mendengkus. Di saat seperti ini pun mereka masih berlagak, dasar bocah.

Kwonjoo menekan rahang--sebab belati yang menusuknya begitu menyakitkan, sebab rasa panas yang menjalari dadanya juga menyengat sudut-sudut mata, sebab ia tak mengerti apa yang dilakukan Eunsoo di sini, apa yang sebenarnya terjadi--TERKUTUKLAH DUNIA MIMPI!

Suara langkah kaki dari sepatu bot yang menginjak lantai hutan terdengar bersamaan dengan bunyi pedang yang dikeluarkan dari sarung. Eunsoo tidak melepas genggamannya pada belati sementara tangan satunya mencengkeram erat lengan kanan Kwonjoo. Perempuan bertubuh ramping itu menunduk, dua bilah pedang masuk dengan sangat perlahan, saling menyilang, baru berhenti setelah seperdelapan ujungnya menembus dada dan melubangi organ pernapasan. Ia terbatuk, mengeluarkan cairan merah kental yang terasa seperti besi. Perempuan berkulit seputih susu itu menatap wanita berambut karamel yang tersenyum puas.

Hortensia Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang