3. Terapi

52 9 7
                                    

Selamat membaca. Ditunggu komentarnya.

Adrino sedang ingin menghirup udara di ruang terbuka. Dia berjalan sendiri sambil memandangi hijaunya rerumputan dan pepohonan di halaman rumahnya yang sangat luas. Cukup menyenangkan.

Adrino butuh penyegaran. Belakangan ini, dia merasa tak nyaman. Semua terasa membingungkan baginya.

Seringkali, Adrino merasa kesepian. Di rumah yang sangat besar itu, dia merasa sendirian. Tak ada yang bisa dijadikan teman.

Bibirnya menyunggingkan senyuman. Teringat masa kecilnya bermain-main di halaman itu. Dengan segala khayalannya, Adrino merasa seolah bertualang di alam bebas.

Kadang, Adrino meminta para pengawal untuk mendirikan tenda di tepi kolam di halaman belakang. Berkemah dari sore sampai besok paginya. Adrino kecil tentu saja tidak berkemah sendirian. Tiga atau empat pengawal biasanya menemaninya di sana. Membuat api unggun, membakar jagung, bernyanyi. Semua terasa menyenangkan.

Pandangan Adrino tertuju pada rumah kayu kecil di seberang kolam. Tidak terlalu kecil, tetapi jika dibandingkan dengan rumahnya yang sangat besar, rumah itu kelihatan kecil. Tempat di mana dulu dia sering menghabiskan waktu bersama ibunya.

Rumah kayu, begitu dulu ibunya menyebut rumah itu. Tempat mereka berdua bersantai di siang sampai sore hari. Di sana, ibunya dulu sering membacakannya buku cerita.

Semua kenangan indah itu lagi-lagi membuat Adrino tersenyum. Berbagai kenangan manis masa kecilnya bermain dalam pikirannya. Begitu menyenangkan, sampai suatu saat ibunya meninggalkannya selamanya.

Senyum Adrino pudar. Rasa kehilangan tiba-tiba menyergapnya. Alisnya bertaut dan keningnya berkerut. Dia mencoba untuk mengingat saat-saat ibunya pergi. Namun, dia tak berhasil menemukan dalam memorinya.

Adrino tak habis pikir. Semua kenangan manis masih jelas terbayang dalam ingatannya. Namun, mengapa dia tak bisa mengingat kepergian ibunya?

Sambil terus berusaha mengingat, Adrino berjalan ke rumah kayu. Entah sudah berapa tahun dia tak pernah ke sana lagi. Rumah itu masih sama. Semua perabotannya pun masih tetap seperti dulu. Bersih dan tetap terawat dengan baik.

Adrino duduk di kursi rotan panjang berlapis jok busa di ruang depan. Di sana, dia selalu duduk bersama ibunya dulu. Menghadap ke depan rumah. Melalui jendela-jendela kaca berukuran besar, mereka bisa melihat kolam.

Adrino duduk bersandar dengan santai. Memejamkan matanya sambil membayangkan kenangan indah masa kecil bersama ibunya. Kenangan yang membuatnya larut dalam masa lalu.

Ketika membuka matanya, Adrino terbelalak menatap Johny di hadapannya.

"Bos, kenapa bengong sendiri di sini?"

Adrino mengerjapkan matanya. Sejenak, dia diam tak menjawab. Dia bingung, mengapa tiba-tiba dia ada di halaman samping.

"Aku lagi cari udara segar," jawab Adrino sekenanya.

Adrino bisa melihat ekspresi Johny yang juga tampak bingung dengan keberadaan Adrino di sana. Apa yang terjadi? Mengapa dirinya tiba-tiba ada di sini? Bukankah tadi di rumah kayu?

"Oh iya, Bos. Malam ini, aku antar Bos ke dokter. Aku sudah buat janji dengan dokternya."

"Jam berapa?"

"Kita berangkat jam tujuh."

"OK," jawab Adrino sambil berlalu meninggalkan Johny.

* * * * *

"Mari, silakan masuk!" sambut seorang dokter perempuan ramah. Senyumnya tampak tulus. Dia kelihatan cantik di usianya yang sudah paruh baya.

"Selamat malam, Dokter," salam Adrino.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dua Wajah Satu JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang