Bab 12

751 214 10
                                    

Bulan Juni 2019

Dini hari, tepat Hari Raya Idul Fitri kurang sehari. Gemma sedang menyibukkan diri membantu Eska mengemas pakaiannya dalam tas ranselnya. Setelah beberapa kali berdebat ringan, akhirnya pria itu memantapkan hatinya untuk pulang ke Jogja, lebaran dengan keluarga besarnya. Dia berusaha keras menahan malu karena sampai detik ini masih belum ada pekerjaan yang memanggilnya.

Gemma sama sekali tidak pernah menyinggung soal pekerjaan. Dia tahu ini hal sensitif. Seperti kali ini, Gemma begitu bersemangat membantunya berkemas. Sementara Eska sedang mengenakan jaket dan beberapa perlengkapan bermotor siap menanti untuk dipakai. Ya, rencananya pria itu akan pulang naik motor. Jauh di dalam hati Gemma sebenarnya agak ragu membiarkan Eska bermotor sendirian untuk pertama kalinya dan itu jarak jauh. Jakarta-Jogja.

"Beneran siap?" tanya Gemma sambil memasukkan celana panjang ke ransel tersebut.

"Iya. Tenang aja, Yang. Mudah-mudahan nggak macet parah."

Gadis itu menganggukkan kepala tanpa suara. Diam-diam tangannya mengambil dompet dan mengeluarkan isinya beberapa lembar sekiranya cukup untuk diperjalanan nanti.

"Ongkos buat di jalan?"

"Masih ada uang event. Dua lembar lah. Cukup, Yang."

"Oke. Nanti kalau ada apa-apa telepon ya?" ucap Gemma sambil mengambil dompet Eska yang tergeletak di sampingnya. Tangannya segera memasukkan beberapa lembar uang warna merah itu.

"Nggak usah, Yang. Aku cukup kok uangnya," ujar Eska begitu tahu kalau baru saja Gemma memasukkan lembaran rupiah itu ke dalam dompetnya.

"Biar kamu lagi keadaan begini, seenggaknya nanti di depan keluargamu, kamu nggak bengong-bengong amat. Lagian kamu juga mau jalan jauh. Nanti kalau ada apesnya, semoga sih nggak, kamu mau minta tolong ke siapa?"

"Uangmu nanti abis, Yang. Kamu kerja capek-capek cuma abis sama aku."

Gadis itu tertawa kecil, "Jangan pernah bilang uangnya abis. Nanti kalau dikasih abis beneran sama Tuhan gimana?"

"Aku salah lagi aja sama kamu."

Pria itu hanya bisa pasrah karena tahu Gemma pasti selalu memiliki jawaban dari setiap kalimat bantahannya. Mungkin seandainya orang tahu, mereka akan bilang kalau Gemma bodoh. Di luar sana banyak laki-laki mapan tapi mengapa Gemma malah memutuskan untuk berhubungan dengan laki-laki macam Eska? Tidak ada yang salah dengan pemikiran dan pendapat orang-orang itu. Hanya saja Gemma memiliki pandangan dan alasannya sendiri.

"Kabarin aku kalau ada apa-apa. Kalau udah sampai juga jangan lupa kabarin," ucap Gemma sambil melambaikan tangannya. Pria itu hanya mengacungkan jempol yang terbalut sarung tangan.

Seingat Gemma, dirinya tidak pernah mengkhawatirkan seseorang hingga sedalam ini. Dia yang sukarela menerima Eska. Pria asing yang sama sekali tidak tahu seluk beluknya. Entahlah, bersamanya mengajarkan Gemma untuk rela melakukan apapun tanpa berharap kembali. Hanya mendengar dia baik-baik saja, bagi gadis itu adalah lebih dari cukup. Apa ini rasanya mencintai seseorang? Entah, gadis itu sedang mencoba mengartikan perasaannya yang baginya masih abu-abu.

Gemma menarik napas, mulai mengemas beberapa barangnya untuk pulang ke Purworejo nanti malam naik kereta api dari stasiun Gambir. Dia sudah memesannya tiga bulan lalu, berebut dengan ribuan orang di aplikasi untuk pulang lebaran kali ini. Semua hanya demi merayakan lebaran dengan ibu dan adik perempuannya. Namun kali ini ada rencana lain yang mendadak hadir, sama sekali tidak pernah gadis itu pikirkan. Apalagi kalau bukan mengenalkan Eska pada ibu dan adik perempuan sebagai orang yang sedang dekat dengannya saat ini. Sampai-sampai Gemma rela membatalkan tiket perjalanan balik ke Jakarta seusai lebaran nanti. Rencananya Gemma akan kembali ke Jakarta naik motor bersama Eska. Bahkan pria itu sudah membawa helm milik Gemma tadi.

***

Memang butuh perjuangan untuk mendapatkan sesuatu hal. Gemma adalah tipikal orang yang tepat janji. Semua rencana harus berjalan di jalurnya. Mungkin kali ini gadis itu terlalu keras ketika Eska meminta mengganti hari di esok harinya untuk datang ke Purworejo, Gemma tidak mempedulikannya. Pola pikirnya kali ini berbeda hingga menciptakan perdebatan kecil. Sampai pada akhirnya selepas Ashar pria itu mengalah, meninggalkan Jogja menuju ke Purworejo melewati jalur Godean.

Ada sedikit sesal ketika mendengar Eska menceritakan perjalanannya. Hari sudah mulai petang. Jalur Godean adalah jalur pegunungan yang kalau sudah sore, kabut mulai menghampiri. Sementara daerahnya sangat minim penerangan dan nyaris tidak ada sinyal. Parahnya, pria itu tidak mencharge baterai ponselnya hingga penuh. Di hatinya antara yakin dan tidak untuk bisa menemukan lokasi rumah Gemma. Karena ini baru pertama kalinya berkunjung ke daerah tersebut.

"Aku pasrah aja lah tadi," katanya menyudahi ceritanya di hadapan Gemma, ibu dan adik perempuan Gemma.

"Kamu, Mas, Gemma kok didengerin. Emang keras kepala dia," ujar ibu Gemma.

"Mami nggak tahu sih cara pikirku. Kalau datang sekarang, malam bisa istirahat, besok pagi ke bengkel dulu katanya mau servis motor biar mastiin okenya buat jalan ke Jakarta. Sorenya kita packing karena subuh kan kita jalan balik," sanggah Gemma menjabarkan pola pikirnya. Tidak salah, ketiganya hanya mengangguk paham.

"Ya udah. Yang sabar, Mas. Menghadapi Gemma ya gitu. Anaknya keras kepala."

"Nggak apa-apa... "

"Mami aja yang gampang," ucap wanita paruh baya berkulit putih itu.

"Mami, ya, nggak apa-apa memangnya?"

"Ya nggak apa-apa. Yang penting kalau sama Gemma, tahan mental aja. Salah ya akui. Ya udah, jangan sungkan. Kita ya adanya begini."

Dalam Diam Gemma mengamati sambil menahan senyum. Ibunya selalu bicara apa adanya. Wanita itu menyambut Eska seperti sudah mengenal lama. Karena memang Gemma selalu menceritakan apapun pada ibunya termasuk soal Eska. Dalam obrolannya sama sekali ibunya tidak menanyakan apa pekerjaan Eska. Karena memang sudah tahu dan itu tidak membuatnya jadi masalah. Dalam beberapa saat kemudian suasana sudah lebur dalam canda tawa.

"Aman kan?" tanya Gemma ketika hanya tinggal berdua. Ibunya sedang di dapur dan adik perempuannya baru saja pergi bersama kenalannya.

"Kok aku nggak ditanya kerja apa? Biasanya kalau kenalan sama orangtua atau keluarganya pasti akan ditanya begitu?"

"Buat mamaku, itu nggak terlalu penting. Kamu mau datang ke sini dengan perjalanan yang kayak tadi aja, udah suatu bukti kalau kamu itu oke."

"Tapi Mami tahu kalau kamu ngasih aku uang?"

"Tahu. Kenapa?"

"Tuh kan. Pasti diomelin."

"Nggak. Kan kamu belum kerja. Nggak usah nggak enak hati. Namanya pekerjaan itu kan rejeki. Ya kamu belum ketemu rejekinya aja. Begitu kata mami."

Gemma tertawa melihat Eska membuang napas lega. Laki-laki itu segera menenggak habis gelas air putih di hadapannya.

"Lho, bocor gelasnya?" tanya ibu Gemma begitu kembali dengan sepiring potongan buah.

"Iya, haus, Mi, ternyata," jawab Eska meringis lebar. Lenyap sudah kekakuan dalam diri Eska. Melebur bersamaan dengan helaan napas leganya.

"Nggak usah malu-malu. Biasanya juga kamu malu-maluin," ucap Gemma meledek.

"Ah, kamu juga sama, Gem," sahut ibu Gemma membela Eska.
***

Tbc

Geser Kanan Jodoh (TERSEDIA CETAK DAN EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang