IMPERFECT

10 2 0
                                    

"Ayo kesana."
"Lah mau nonton?"
"Nih, aku udah booking tiket 2."

Apa yang paling ditunggu sepasang kekasih ketika malam minggu selain berkencan? Berkencan atau ngedate adalah kegiatan paling lumrah yang dilakukan oleh dua sejoli yang sedang dimabuk asmara. Sama halnya denganku. Saat sedang ke mall karena aku harus membeli setelan untuk kerja, tiba-tiba dia mengajakku untuk menonton film di bioskop. Dan tanpa sepengetahuanku dia sudah booking dua tiket sejak kemarin malam.

Namun aku sangat menggerutu karena film yang dia pilih adalah film Indonesia. Mungkin pernyataanku ini akan membuatku mendapat banyak hujatan. Tapi, aku adalah orang yang kurang menyukai menonton film Indonesia di bioskop. Lebih baik menunggu tayang di televisi. Ntah mengapa stigmaku ini sudah mendarah daging sejak dahulu. Bahkan selama hidupku, film Indonesia yang ku tonton di bioskop bisa dihitung jari. Dan itu semua bukan keinginanku sendiri, melaikan diajak keluarga atau kekasih yang mau tidak mau harus menonton.

Sama halnya dengan sekarang, aku hanya bisa meng-iya-kan karena dia memang sangat ingin menonton itu. Bahkan hasratnya lebih besar dibanding menonton Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 2, kala itu. Aku tidak tahu film ini bercerita tentang apa. Bahkan trailernya sama sekali belum ku tonton. Tapi saat film mulai diputar, aku tersenyum tiba-tiba. Dan dimenit berikutnya ketika alur cerita dimulai, jantungku seolah berhenti berdetak.

"Eh kak dika. Kirain ojol, maaf kak."
"Gak papa."
"Telat."
"5 menit doang."

Duniaku seakan sedang di ceritan oleh tokoh lain dan dipertontonkan ke khalayak ramai. Aku tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutku. Hanya pipi merah merona ini yang dapat disembunyikan karena lampu bioskop dimatikan. Aku mulai menikmati film ini menit demi menit sembari sesekali melihat wajahnya yang sangat serius namun sesekali tersenyum manis. Ingin rasanya aku menyuruhnya berhenti tersenyum karena jika ada wanita lain yang melihatnya, aku akan cemburu.

Kehidupanku bisa dibilang mirip di beberapa bagian dalam film ini. Atau bisa dibilang hampir setengah dari film ini. Mungkin lebih. Bagaimana aku dengan segala deadline pekerjaanku, aku dengan percintaanku yang dimana aku sangat bersyukur memiliki dia, dan aku dilingkungan keluarga yang seolah khas dengan kalimat "gendut banget kamu sekarang".

Bahkan konflik yang timbul dalan film ini juga mirip dengan aku di kehidupan asliku. Ketika kamu ingin menempati jabatan yang lebih tinggi, nyatanya 'good looking' memiliki peran yang penting. Masih banyak orang-orang yang memandang segala hal dari luar, bukan dari dalam. Penilaian tentang wajah dan fisik seseorang nampaknya masih lebih penting daripada bagaimana cara dia berpenampilan (berpakaian) dan tidak tuturnya. Fakta yang menyakitkan tapi itulah kenyataannya.

"Serius amat nontonnya."
"Ssstt! diem!"

Setiap orang memiliki standar hidup masing-masing dalam kehidupannya. Standar tentang pekerjaan, tipe pasangan idaman, bahkan tentang kecantikan/ketampanan. Dibalik badanku yang begini, orang tidak tahu apa yang sudah ku lalui. Bukan tentang diet, tapi tentang alasan kenapa aku memiliki badan yang bisa dibilang cukup besar. Salah satunya berhubungan dengan penyakit yang aku alami.

Siapa sangka, aku bisa mendapatkan seorang kekasih yang dapat menerima segala kekuranganku ini. Dia terlalu sempurna untukku. Tampan, tinggi, badan berisi, jago bernyanyi, dan hal-hal lain yang mampu membius kaum hawa. Kadang aku merasa sangat tidak percaya diri dan selalu mempertanyakan apa yang dia lihat dari diriku?

Dan semua pertanyaan itu seolah terjawab tuntas di film ini. Bahkan aku tidak bisa menahan tangis haru di akhir film. Hingga aku melabeli film ini akan menjadi salah satu film bersejarah dalam hidupku. Sialnya, dia meledekku saat sedang mengusap air mata,

"Lah, kok nangis? Hahaa"
"Ahhh ayo keluar! Aku laper!"

Di setiap langkah saat meninggalkan bioskop, pikiranku beradu. Dan aku mulai memahami mengapa dia sangat ingin menonton film ini. Bahkan booking tiket dari hari sebelumnya. Dia seolah ingin menjawab semua pertanyaanku mengenai alasan mengapa dia memilih dan bertahan denganku. Aku adalah orang yang keras kepala dalam percintaan. Karena selalu mempertanyakan segala hal dan mengharuskan setiap hal ada alasannya.

Melihat tanganku yang sedang digenggam olehnya, seolah sekalin memperjelas semuanya. Tangan hangatnya seperti mengantikan peran bibir. Tanpa perlu banyak berucap, dia sudah membayar lunas seluruh hutang jawaban dari segala pertanyaanku selama ini. Dan senyumnya kegirangan makan ayam bakar langganannya, membuatku sangat lega.

Mulai saat itu aku tersadar bahwa, dia melihatku bukan dari fisikku atau wajahku. Tapi dari bagaimana aku berbicara dengan orang lain, membantu orang lain, dan tentang kerja kerasku dalam segala hal. Dia bisa saja memilih wanita lain yang lebih cantik dariku, tapi dia enggan melakukannya. Dan seketika aku berdoa kepada Tuhan; Tuhan, jika memang dia jodohku, lancarkan segala urusan kami. Jika tidak, terimakasih karena telah menghadirkannya dalam kehidupanku. Berkatnya aku sadar bahwa di dunia ini masih ada orang yang bisa menerimaku tanpa melihat fisik dan wajahku. Aku tidak sempurna, dia juga tidak sempurna, tapi kita mampu saling menyempurnakan. Sekali lagi, terimakasih Tuhan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ÓpioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang