Part 2

7 1 0
                                    


"Pasti karena omongan tetangga kan, Yah? Widuri jadi beban ayah dan ibu ya?" Suara Widuri bergetar. Menahan tangisan.

"Bukan begitu, Wid-"

"Ya buktinya kan ayah dan ibu ingin Wiwid cepat-cepat menikah. Supaya gak menyusahkan lagi kan, Yah? Disekolahkan tinggi, Wiwid cuma jadi pengangguran. Gak becus sama pekerjaan rumah lagi." Widuri mengusap air matanya yang hendak jatuh.

"Kalau begitu restuilah Wiwid dengan Mas Dewa, Yah."

"Kamu akan menikah tapi bukan dengan Dewa," ucap Bu Mirna.

Widuri dan ayahnya tersentak. Keduanya spontan menoleh bersamaan. Terlihat sang ibu sudah berada di ambang pintu.

"Bu, kenapa sih masih aja mengikuti penghitungan kuno itu? Kita orang muslim, yang harus kita ikuti itu ajaran islam. Jangan mengkhawatirkan segala sesuatu yang belum tentu terjadi, Bu. Kita pasrahkan pada Allah."
Widuri berbicara dengan lembut. Berharap kali ini ibunya luluh.

"Penghitungan kuno? Dengar ya Wid, memang kita ini orang islam. Tapi kamu juga jangan lupa asal usulmu darimana. Kamu lahir dan tumbuh di tanah jawa. Darahmu itu jawa. Ya kamu harus mengikuti aturan jawa. Jangan sampai kamu kualat nanti."

"Kalau aturan itu bertentangan dengan islam, apakah Wiwid tetap harus mematuhi? Yang dapat mengantar kita ke surga itu karena mematuhi perintah Allah, Bu. Bukan perintahnya leluhur." Widuri tetap pada pendiriannya.

"Oh, begini ya hasil yang kamu dapat dari kuliah selama 4 tahun itu? Jadi pintar melawan orang tua. Mau jadi anak durhaka kamu?" Ucap Bu Mirna. Matanya melotot. Semakin membuat susana malam itu memanas.

Melihat kedua wanitanya bersitegang, Pak Sapri melerainya. Mengajak sang istri kembali ke kamar. Meninggalkan Widuri yang meratapi nasibnya.

Widuri kembali larut dalam kepiluan. Suara gemericik air hujan menambah kesunyian malam. Tak pernah terbayangkan olehnya, cinta yang dilalui serumit ini.

Dewangga Putra. Lelaki yang telah merebut hatinya. Siapa sangka perjumpaan mereka 3 tahun lalu, menjadi awal tumbuhnya benih cinta.

Dewa, sapaan akrab lelaki itu. Merupakan seniornya di kampus. Umur mereka terpaut 2 tahun. Mereka dipertemukan dalam kegiatan bakti sosial yang diselenggarakan BEM kampus.

Widuri tersenyum mengingat serentetan kenangannya. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di sebelahnya. Dengan lincah membuka-buka isi galeri. Banyak foto dirinya. Hasil jepretan Dewa secara diam-diam.

Tring…
Notifikasi pesan masuk. Terlihat nama Mas Dewa muncul di layar. Widuri membuka isi pesannya.

[Jangan pernah membenci hujan, karena setelah hujan badai menerpa akan ada pelangi indah yang menyapa]

Menetes air mata Widuri. Membaca pesan itu seperti tangan yang menggenggam pisau. Tersayat perih. Widuri terisak. Semakin lama tangisnya tak tertahankan. Dekapan bantal yang menutupi seluruh wajahnya, tak mampu meredam kekecewaannya.

Andaikan waktu bisa diulang. Mungkin ia akan menghindari pertemuan. Potret wajah orang tua dan lelaki pujaannya menari di pelupuk mata bergantian. Keraguannya semakin menjalar. Semakin melukai hatinya.

Widuri menghapus jejak air matanya. Jemari lentiknya mulai memencet huruf demi huruf pada layar keypad.

[Apalah artinya pelangi, jika ia hanya mewarnai sebentar saja]

Widuri menekan tombol send. Pesannya sudah terkirim. Tak lama tanda cheklis berubah warna menjadi biru. Menandakan sudah dibaca si empunya.

[Jangan pernah meragukan kekuasaanNya]

Kembali Widuri terisak. Bukan ia menyalahkan takdir. Hanya saja baginya semua ini terlalu menyakitkan. Cinta yang ia semai untuk pujaan hatinya. Terhalang oleh restu orang tua.

Bagaikan buah simalakama. Sebutan anak durhaka akan melekat padanya, andai ia memilih lelaki tambatan hatinya. Tetapi rasa kecewa dan penyesalan akan terus menggerus hatinya, andai ia mengikuti kemauan orang tua.

"Dijaman modern begini, kenapa masih saja percaya dengan ramalan-ramalan seperti itu?" Gumamnya.

Widuri mengubah posisi, berbaring sambil memeluk guling. Matanya menatap langit-langit kamar. Menerawang jauh. Membawa ingatannya pada awal mula kisah percintaannya dengan Dewa.

Bersambung...

Romantika Si Gadis JawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang