Linka dan Harmonika

32 4 0
                                    

Alunan melodi itu mengalun indah di setiap gendang telinga yang mendengarnya, melodi melankolis seperti menghiptonis penonton dan terhanyut dalam suasana. Permainan harmonika yang luar biasa dibawakan oleh Linka Anindya, gadis asal Jakarta yang bersekolah di salah satu sekolah SMA swasta. Riuhan tepuk tangan ketika Linka selesai meniup harmonika yang lumayan membuat dadanya sesak menjadikan suasana aula menjadi ramai. Tetapi Linka merasa bahagia karena sudah menampilkan yang terbaik untuk acara tahunan di sekolahnya. Ia tersenyum dan pamit undur diri ke belakang panggung setelah pembawa acara kembali dan mengucapkan terima kasih. Beberapa teman-temannya dan guru-guru juga mengetahui bakat Linka yang luar biasa dalam memainkan harmonika. Ia sering mengikuti lomba di berbagai acara dan mendapat juara bahkan tingkat nasional.

Di belakang panggung Linka meminum air mineral yang ia bawa, ia merasa haus karena lelah dan merasa gugup, keringat juga membanjiri keningnya. Tetapi, Linka tetap bangga karena sudah tampil sebaik mungkin, apalagi tadi disaksikan oleh keluarganya. Ia menatap ke depan dan memperhatikan bebarapa tanaman kaktus yang disimpan dalam pot hitam, juga lampu warna-warni yang membuat ruangan ini menjadi sedikit terang meskipun remang. Tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya,

"Keren banget tadi, Lin," ucap seorang laki-laki duduk di samping Linka.

Linka kaget karena tak menyadari kehadiran laki-laki itu di sampingnya. Sepengetahuan Linka laki-laki itu bernama Alka, kakak kelas Linka yang terkenal akan parasnya yang tampan dan juga keahliannya dalam bidang fisika. Linka pernah beberapa kali melihat Alka saat di lingkungan sekolah.

"Kak Alka?" ucap Linka terkesiap. "Kok kakak ada di sini?"

Alka terkekeh, "Eh, lo kaget? Sorry. Tapi tadi gue nonton pertunjukan lo, dan menurut gue lo keren."

"Jangan berlebihan, tapi makasih ya," ucap Linka. "Btw, kak Alka kenal Linka?"

Alka mengangguk, "iya, gue sedikit tahu tentang lo. Lo adik kelas gue kan?" tanya Alka yang hanya dijawab anggukan oleh Linka.

Merasa didiamkan, Alka pun bertanya kembali, "sejak kapan lo suka main harmonika?" tanya Alka sambil memperhatikan Linka serius, Linka yang merasa ditatap intens menjadi sedikit gugup.

Linka meluruskan pandangannya ke depan, menatap kembali kaktus-kaktus kering yang sudah ia lihat sedari tadi, juga lampu-lampu yang tak sedikit pun beranjak dari tempatnya, berusaha tak kontak mata dengan Alka, "sejak umur sepuluh tahun, dulu ayah belikan aku harmonika waktu dia pulang dinas dari luar kota, biasanya ayah belikan aku buku, tapi karena waktu itu ayah bawa sesuatu yang berbeda, aku seneng banget! Aku belajar dan mainkan harmonika itu setiap hari."

Alka mengangguk, tatapannya beralih pada harmonika sebesar telapak tangannya di genggaman Linka, "ini juga harmonika yang dulu?" tanya Alka lagi sambil menunjuk harmonika warna biru milik Linka.

Linka mengikuti arah pandang Alka, "oh, bukan, Kak," Linka menggeleng dan tersenyum. Ini harmonika ke lima di hidup aku. Harmonika pertama itu warna putih, meskipun rusak masih aku simpan sampai sekarang."

Alka ber-oh ria. Ia sangat tertarik untuk mendengarkan cerita Linka, baginya gadis itu sangat menarik.

"Lin, gue tertarik banget denger cerita lebih tentang lo, boleh gak kita tukeran kontak? Gue masih pengen ngobrol banyak sama lo, tapi gak sekarang. Boleh?" pinta Alka.

Linka diam sejenak lalu mengangguk perlahan, "boleh, Kak."

Alka tersenyum senang dan mulai mengeluarkan ponselnya, benda persegi panjang berwarna hitam itu ia sodorkan pada Linka, "ketik nomor lo di sini, gue bakal hubungin lo nanti. Hari ini gue ada jadwal latihan buat olimpiade fisika bulan depan," ucap Alka.

Pukul Lima PetangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang