Gemuruh suara ombak seperti menjadi lagu klasik yang menemani suasana sore di pantai ini. Seakan memberitahu dua manusia yang sedang duduk di hamparan pasir itu bahwa keindahan yang mereka nikmati adalah karya Tuhan yang Maha Esa. Beberapa orang sudah bersiap pulang karena hari semakin sore. Beberapa orang lainnya sedang membujuk anak-anak mereka untuk segera mandi dan pulang ke rumah masing-masing.
Linka menatap jauh ke seberang sana, tepat di mana matahari akan tenggelam. Ia terkesima dengan fenomena alam yang sangat indah ini. Tanpa disadari, Alka justru menatap wajah Linka yang terlihat cantik, beberapa helai rambut yang terkena angin menutupi sebagian wajah Linka. Dengan pelan, Alka menyingkirkan beberapa helai rambut itu dan menyelipkannya di belakang telinga Linka. Seolah tersadar dengan apa yang dilakukan Alka, Linka pun menoleh,
"Eh, kenapa?" tanyanya polos.
Alka menggeleng, membalas senyuman Linka yang indah seindah sore ini, "tadi rambutnya halangin wajah kamu, jadi aku gak leluasa buat lihat wajah kamu," ucap Alka yang membuat Linka tersenyum geli.
Mereka sudah berada di pantai ini setelah sebelumnya saat pulang sekolah, Alka izin kepada ayah dan bunda Linka. Tak begitu sulit, karena sepertinya pak Aryo sudah mulai mempercayai Alka, juga bu Yunita, yang akrab disapa bu Nita itu sudah mengetahui hubungan Alka dan Linka. Mereka sepertinya sudah mengizinkan Linka untuk mempunyai teman spesial karena Linka sudah berusia tujuh belas tahun.
"Gimana, suka?" tanya Alka.
Linka mengangguk, ia sangat menyukai pemandangan senja di pantai. Apalagi bersama orang spesial di hidupnya.
"Aku suka, makasih ya udah ajak aku ke sini."
Alka tersenyum, digenggamnya jemari Linka yang sedikit kotor oleh pasir, "baguslah, kapan pun kamu mau ke sini, pasti aku temani."
"Sampai kapan?"
"Selamanya," ucap Alka tanpa keraguan.
Linka tersenyum kecil, meskipun ia tak yakin akan ucapan Alka, karena menurutnya janji seseorang itu tak selalu bisa dipercaya, tetapi Linka menghargai dan menikmati momen ini, momen berharga di hidupnya, momen yang tak ingin ia lewati dengan sia-sia. Linka mengambil harmonika di tasnya yang dia bawa, lalu mulai memainkan harmonika itu dengan alunan melodi yang sangat indah, suasana pantai yang tenang semakin menambah kenyamanan berada di sana, Alka yang mendengarnya semakin terpukai pada sosok Linka.
"Keren banget sih," ucap Alka setelah Linka selesai memainkan harmonikanya. Alka mencubit pelan pipi Linka sampai sedikit kemerahan.
"Ih sakit!" keluh Linka sambil mengusap pipinya.
"Mau beli permen kapas?" tanya Alka.
Linka mengerutkan keningnya, "permen kapas? Apa itu?"
"Kamu belum pernah makan?" tanya Alka lagi.
"Belum," jawab Linka menggeleng pelan.
Alka tersenyum, "yaudah yuk," ajak Alka sambil menarik pelan tangan Linka untuk bangkit.
"Kemana?" tanya Linka dengan wajah bingung.
Alka menjadi sedikit gemas pada Linka, mengapa gadis ini begitu polos? Pikirnya.
"Beli permen kapas, sayang," jawab Alka singkat. Pipi Linka memerah seperti tomat mendengar jawaban Alka, entah mengapa meskipun kata itu sering Alka ucapkan, Linka selalu dibuat merona ketika mendengarnya.
Mereka pun berjalan menuju penjual permen kapas, sambil sesekali bercanda dan berlarian di atas ribuan, atau mungkin jutaan pasir yang terhampar, sambil disaksikan oleh matahari yang semakin tenggelam. Sampai akhirnya mereka tiba di salah satu kedai;
