Musik dalam ruangan itu menggema, dentuman kerasnya menimbulkan getaran-getaran kecil yang semakin memacu semangat orang disana, bergerak lincah kesana-kemari.
Pemandangan yang lumrah disebuah club malam. Ada yang setia dimeja bartender, meneguk minuman memabukan itu, ada yang sudah terkapar pingsan, ada juga yang saling bercumbu, menggoda, bahkan disudut ruangan terdapat pasangan yang sedang make out
Ramai, itulah kata yang mendeskripsikan suasana club itu, walau demikian gadis dengan rambut berwarna coklat itu tampak duduk termenung. Ia menatap kosong pada kerumunan orang yang bersenda gurau dalam mabuknya. Terlihat menyenangkan, namun rasanya ia enggan bergabung.
Ia asik dengan pikirannya, ia merasa kesepian ditengah keramaian. Meneguk kembali minuman miliknya, ia mengedarkan pandangannya kesegala penjuru club, lalu pandangannya terhenti pada sosok tinggi diseberang sana, sosok yang juga menatap kearahnya.
Ia menggeleng pelan, berpikir bahwa yang dilihatnya hanya sebuah kilasan tak nyata, namun saat diperhatikan dengan seksama ia menyadari bahwa sosok itu nyata.
Dengan gerakan cepat ia memalingkan wajah, meraih tasnya, hendak mengambil dompet guna membayar tagihan minuman. Lama merongoh tas nya, benda yang dicari tak kunjung terasa, dengan kesal ia membuka tasnya lebar-lebar, namun benda itu tak terlihat.
Sial. Ia menyadari dompetnya hilang! Walaupun begitu ia tetap menjelajahi setiap bagian tas nya, berharap ada seselip uang yang bisa ia pakai sekarang.
Saking fokusnya, ia tak menyadari bahwa sosok itu kini berdiri kurang dari satu langkah dibelakangnya. Bahkan hembusan nafas hangat itu jatuh menerpa kupit lehernya. Ia hendak berbalik, namun suara tak asing memasuki indra pendengarnya, membuat langkahnya berhenti seketika.
"Aku akan membayarnya."
──────
Pria jangkung itu menghela nafas untuk kesekian kalinya, aura dingin yang pekat menguar, memenuhi seisi ruangan. Empat orang yang kini berbaris rapi merasa tenggorokannya tercekat, sulit untuk menghirup udara yang bersih tanpa tekanan.
Tak! Tak! Tak!
Hentakan sepatu itu bagai alarm bahaya, mungkin umumnya jika mengetahui alarm bahaya orang lain akan mengikuti instingnya untuk lari menjauh, namun kini berbeda, keempat pria berbadan kekar itu diam ditempat, berdiri tegak dengan pandangan lurus kedepan.
"Aku memang menganggap kalian temanku, namun disini aku tetaplah tuan kalian, jadi," pria itu menjeda ucapannya, "Kau! Katakan apa kesalahan mu Rico!" Perintahnya menunjuk pria dengan tubuh yang sedikit lebih kurus dari yang lainnya.
Rico menekuk sebelah kakinya, setengah berlulut. "Maaf tuan, saya melakukan kesalahan yang hampir membuat perusaan Anda merugi." jawabnya sambil menunduk, 3 detik setelahnya ia kembali berdiri, mengambil posisi seperti diawal.
"Kau, katakan apa kesalahanmu!" Ia kembali bertanya pada pria yang memiliki rupa persis seperti Rico.
"Perlu kuulangi pertanyaan ku Raka?" Ia mendesis, pelan namun tajam. Raka menggeleng kuat, lalu mengambil sikap, siap memberi laporan.
"Maaf, saya telah memberikan perpanjangan waktu kepada mereka tanpa izin dari tuan."
Ia mengangguk, lalu beralih pada pria berkulit putih pucat, tanpa ditanya lagi pria itu menekuk lututnya, mengakui kesalahan yang ia perbuat. "Maaf tuan, saya terlambat 2 menit dalam penyerahan dokumen pada klien."
Ia kembali mengangguk, memberi tepukan dipundak pria dengan bekas luka bakar dibawah matanya. "Ada apa denganmu Naren? Kau mengecewakan ku huh?" Ia bertanya dengan halus, membuat pria bernama Naren itu segera mengucapkan apa yang harus ia sampaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
21+ | HEAVEN : KENZO'S OBSESSION
Lãng mạn21+ Heaven Kanzavia, gadis pencinta kebebasan. Gadis liar yang menghabiskan setiap malamnya di club bersama temannya. Bukan, ia bukan seorang jalang, ia hanya gadis 23 tahun yang menjadi langganan Club terkenal di Las Vegas. Disisi lain, Kenzo Gar...