Bab 4: penyesalan

1.1K 194 50
                                    

"Sejak kapan kamu disitu?" Tanya Varan yang melihat Jisa berdiri di ambang pintu.

"Sejak... bapak bicara dengan seseorang di telpon," Jawab Jisa kaku.

"Maaf."

"Maaf? Anda seharusnya tidak perlu meminta maaf. Saya yang salah karena tidak mengetuk pintu dulu," Ujar Jisa.

"Maksud saya—"

"Baiklah kalau begitu, ada keperluan apa Bapak mengapa memanggil saya kemari?" Potong Jisa agar pembicaraan mereka tidak merembet kemana-mana.

"Ah itu, kemarilah," ucap Varan dari meja kerjanya.

Jisa melangkahkan kakinya dengan kaku untuk mendekati Varan. Ia merasa tidak nyaman berada didekatnya bahkan dari jarak lima meter. Jisa kikuk mencoba biasa saja saat berhadapan dengannya. Namun fakta bahwa pria itu pernah menjadi suaminya memang tak bisa dipungkiri.

Apalagi mereka hanya berdua di ruangan itu sekarang membuat hal-hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi.

"Berkas merah saya hilang, coba tolong kamu cari," ucap Varan.

Hilang? Coba cari maksudnya? Memangnya Jisa spesialis mencari barang hilang apa? What the hell, dia kan bisa mencarinya sendiri.

"Mungkin tertinggal di ruang rapat pak? Apa mau saya carikan disana?" Tawar Jisa. Sebenarnya, dia juga malas jika harus kembali ke ruang rapat walaupun jaraknya hanya sekitar lima belas langkah.

Untung Jisa sabar.

"Tidak usah kesana karena saya sudah cari tapi tidak ada. Coba kamu periksa di ruangan ini," perintah Varan yang menunjuk lemari di sudut ruangan tempat penyimpanan berkas baru.

Jisa mendengus kecil hampir tidak didengar Varan, "baiklah akan saya cari."

Jisa lalu membuka lemari tersebut dan sialnya terdapat banyak sekali berkas berwarna merah disana. Dirinya terpaksa harus membuka satu-persatu. Kalau bukan karena pekerjaan pasti Jisa bisa saja meninggalkan Varan dan menyuruhnya mencari sendiri.

Varan yang melihat Jisa sedang mengotak-atik lemarinya itu pun merasa sedikit terpana dengan kecantikan Jisa hari ini. Wanita itu menggunakan blazer abu-abu dan rok pendek hampir menyentuh lutut. Namun hal itu mengingatkan Varan bahwa Jisa memang sudah melupakannya. Pasalnya, dahulu Varan pasti akan memarahinya jika Jisa memakai rok mini yang memperlihatkan betisnya itu. Varan tidak suka dengan pria yang menatap Jisa dengan tatapan liar.

Varan juga tidak suka jika kecantikan Jisa pun dilihat oleh pria lain.

"Gimana sekertaris Jisa? Udah ketemu berkasnya?" Tanya Varan yang masih duduk diam memperhatikan Jisa tanpa membantunya.

"Sebentar Varan, ini lagi dicari."

Sontak Jisa menggigit bibir bawahnya karena keceplosan memanggil nama Varan tanpa embel-embel "pak". Ia bodoh sekali. Takutnya, keprofesionalan Jisa yang Ia bangun dalam sebelas tahun ini akan runtuh dengan sia-sia.

Jisa memutarkan kepalanya untuk melihat Varan. Apakah wajahnya itu akan menampilkan reaksi terkejut kali ini, atau...

Tidak! Varan malah tertawa kecil saat dilirik oleh Jisa.

"Ma–maaf pak," ucap Jisa kaku.

"Haha maaf untuk apa Sa? Kamu ingat kan yang berkali-kali kamu katakan 'maaf untuk apa Ran, kamu ngga perlu minta maaf'," jawab Varan sambil mempraktekkan gaya bicara Jisa.

Jisa memicingkan mata kesal. Ia tidak tahu bahwa Varab masih sama menyebalkannya seperti dulu.

Varan berjalan mendekati Jisa dan berjongkok untuk menyamakan tingginya karena kini Jisa juga sedang berjongkok untuk mencari berkas dibagian bawah.

I Love You but I LiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang