Meskipun pada akhirnya terjebak dalam keraguan, kekhawatiran dan akhir yang menyedihkan, nyatanya aku tetap bertahan dalam penantian.
Jika menanti itu adalah sebuah kesalahan, biarlah itu menjadi kesalahan terindah (Kirania)
Kesedihan selalu merupakan hasil dari masa lalu, penyesalan adalah rasa pedih dari ingatan.
*** The Last Wait by Galuch Fema
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Happy reading, jangan lupa like dan komen
Cerau hujan yang membasahi bumi sejak semalam, belum juga berhenti. Padahal sudah membuat genangan di mana-mana. Bahkan kilat pun masih saja setia menemani gelapnya pagi. Ayam yang seharusnya sudah berkokok lebih memilih bungkam karena ragu apakah sudah saatnya bersuara.
Santri santriwati yang biasanya berbondong menuju masjid, pagi ini hanya terlihat beberapa gelintir saja yang menuju tempat suci. Sebagian memilih bertahan di kamar asrama masing-masing. Absen satu kali melaksanakan dua rakaat di masjid tidak akan menggugurkan pahala jika tetap dilakukan di ruangan yang berukuran lima meter saja.
Kesibukan sudah terjadi di rumah yang masih terjaga keasriannya meskipun sang penghuni sudah dipeluk oleh tanah di belakang pesantren. Laki-laki berusia kepala tiga tengah sibuk menenangkan putri kecilnya yang berusia baru satu minggu. Bayi mungil itu tidak lelah menangis meskipun sudah digendong sambil berulang kali ditenangkan. Alif menatap istrinya yang sedang duduk di tepi ranjang sambil memijit kening.
"Syakila biar sama saya dulu. Kamu istirahat saja!" perintah Gus pada Dewi. Raut wajah perempuan itu sangat memprihatinkan. Kelopak mata bengkak dan terdapat lingkar hitam di bawah sana. Belum kerudung yang dipakai juga terlihat kusut. Dewi sama sekali tidak terpejam sejak pukul sepuluh malam. Ia menjaga Syakila yang terus-terusan menangis tiada henti karena waktu tidur yang selalu terusik dengan suara yang tidak jelas.
"Gus tidak ke masjid?"
Alif menggeleng sambil tersenyum. "Ada Salim yang akan menggantikan menjadi imam."
Keduanya terdiam, memperhatikan buah hati mereka yang masih terisak.
"Tidur saja!" perintah Gus sekali lagi. Ia tidak ingin Dewi sakit karena kurang istirahat. Biarkan ia beberapa jam menjaga Syakila sejenak sebelum kajian pagi nanti ia pimpin.
"Bagaimana bisa tidur, Gus? Jika Syakila masih seperti itu?"
Ekor mata Dewi tak pernah lepas dari pipi merah putrinya yang basah.
"Insyaallah dia tidak apa-apa."
Dewi menata deru jantungnya yang sekarang berdebar lebih cepat. Merasakan apa yang ia tahan dalam hati, ingin rasanya ia sampaikan kepada Gus saat ini juga. Beban itu selalu mengimpit dada dan memenuhi otaknya.
"Gus ada yang ingin Dewi sampaikan," ucap perempuan itu dengan hati-hati berharap Gus tidak akan murka kepadanya.
"Apa, Sayang?"
Gus Alif mendekat dan duduk di samping Dewi yang terlihat sangat cemas. Untung saja Syakila sudah agak tenang, tetapi sesenggukan masih sedikit terdengar.