꧁ Terungkapnya Sebuah Tabir꧂

69 31 35
                                    

Bila kegagalan itu ibarat hujan dan keberhasilan bagaikan matahari, maka butuh keduanya untuk melihat pelangi

***
The Last Wait  by Galuch Fema

***The Last Wait  by Galuch Fema

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Happy reading, jangan lupa vote dan komen

Daksa perempuan itu merosot dibarengi linangan air mata yang tak kunjung berhenti. Tangan Kiran terasa nyeri ketika luka di sana mulai memerah. Suara gembok tertutup mengisyaratkan tempat ini tidak akan terbuka lagi. Entah ia harus menunggu berapa hari lagi untuk terbuka. Tatapan kosong mengarah pada jendela yang masih terbuka. Awan hitam sudah berarak menghiasi langit

"Aku mohon buka pintunya," pinta Kiran di sela-sela isak tangisnya yang sudah pecah sedari tadi.

Sementara itu, Alif hanya menatap pintu yang tidak berdosa. Benda itu adalah bukti kekejaman dirinya terhadap Kiran. "Maafkan Mas."

Bisikan Alif akhirnya terdengar ke telinga Dewi. Istri Gus Alif seketika menunduk sambil menggendong erat buah hatinya. Ya, Dewi menyadari dia juga sosok yang paling berdosa karena membiarkan kakak iparnya seperti ini. Seharusnya ia sebagai perempuan bisa menyemangati Ning untuk bangkit.

"Sudah ditunggu Anton, Gus," ucap Dewi membuat laki-laki itu kaget. Sedari tadi Dewi hanya memperhatikan Gus termenung.

"Ya."

Alif bergerak cepat menyusuri lorong kecil menuju bangunan kecil di tengah-tengah pesantren. Mata tidak sengaja menatap jejeran tumbuhan yang daunnya sudah meranggas. Entah ke mana bunga itu melesap. Ia tidak paham jika bunga itu mekar  atau sama sekali tidak berbunga.

Sejak kepergian Umi dari pesantren, sepertinya tidak ada kuncup bunga yang bermekaran. Seakan semua memilih mati sejak bencana itu terjadi.

Di ujung pintu, Alif menatap laki-laki dengan jaket lusuh tengah menatap koleksi piala para santri di sini. Alif menatap ke sekeliling, barangkali ada seseorang yang datang bersama Anton. Namun, preman itu datang sendirian.

Gus Alif mengembus napas lega. Dia tidak tahu bagaimana jadinya jika preman itu datang bersama mertua Kiran. Pasti masalahnya lebih runyam.

"Assalamualaikum," sapa Gus Alif dengan suara yang terdengar  sangat berat. Ia segera duduk di sofa, tempat untuk bertemu dengan tamu di pesantren.

Seseorang yang sedari asyik melihat pajangan di lemari kaca, segera membalikkan badan. Laki-laki itu mendekat dan segera duduk di sofa yang sama. Padahal  tidak ada yang menyuruhnya.

The Last Wait Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang