Berusaha ikhlas pada kehilangan dan mencoba tersenyum dari sebuah kepiluan
Happy reading, jangan lupa like dan komen
Mata Gus Alif yang sudah berkaca-kaca akhirnya basah. Menyerah pada cairan bening yang sekarang membasahi pipi. Buru-buru tangan mengusap pipi, ia tidak boleh terlihat sedih di hadapan adiknya.
Dengan langkah cepat, berjalan menuju lemari kaca. Di sana sudah tersedia tumpukan kertas warna putih. Ia mengambil beberapa lembar untuk diserahkan pada Kiran.
Mata Gus Alif sengaja tidak menatap wajah di sana. Cahaya temaram sukses menyembunyikan wajah penuh air mata Kiran. Tangan putih dengan kuku yang sudah memanjang menerima pemberian kakaknya.
Dengan cekatan perempuan yang kepala masih tertutup hijab segera membuat origami bentuk pesawat. Entah sudah puluhan jumlah benda itu mengisi ruangan yang tidak begitu luas ini. Semua berceceran menghiasi sudut ruangan.
Origami pesawat yang sudah selesai dibuat sekarang berada di tangan Kiran, siap diterbangkan. Itulah kebiasaan perempuan itu selama di tempat pengasingan ini.
Alif hanya bisa terus memperhatikan sampai Kiran sendiri lelah karena pasti selalu diakhiri dengan isak tangis yang menjadi.
Mata laki-laki itu terus mengamati kondisi gudang ini yang sudah berdebu. Kamar mandi di sana juga pasti sudah berlumut. Ia tidak ingin adiknya celaka. Bagaimana mungkin memasukan orang lain ke tempat ini karena Kiran pasti akan menolak keras. Lagian Alif tidak ingin orang lain tahu kondisi adiknya.
Tatapan mata itu sekarang tertuju pada sebelah barat. Di sana masih tergelar sajadah warna cokelat dan mukena yang tergeletak asal. Di saat terpuruk seperti ini, Kiran masih paham apa yang menjadi kewajibannya.
Dada terasa sesak melihat penderitaan ini, ditambah ruangan yang selalu tertutup membuatnya dalam dada terasa penuh. Gus Alif berdiri dan berjalan menuju jendela yang selama ini tertutup dan enggan dibuka oleh adiknya. Kali ini ia ingin membuka, entah ada penolakan atau tidak dari perempuan itu.
Engsel jendela sedikit bersuara membuat sepasang mata langsung tertuju di sana. "Jangan dibuka, Mas?" pinta perempuan itu dengan suara sedikit serak.
Alif kangen dengan suara barusan. Entah kapan terakhir mereka berbincang. Mungkin di Sapporo sebelum musibah itu terjadi.
"Sesekali ruangan ini lebih terang. Mas Alif bosan dengan kegelapan," balas laki-laki itu memancing reaksi adiknya.
Biasanya Kiran akan marah. Menendang apa saja yang ada di dekatnya. Sudah ada lima menit, jendela terbuka tidak ada suara memberontak dari bibir Kiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Wait
Любовные романыMeskipun pada akhirnya terjebak dalam keraguan, kekhawatiran dan akhir yang menyedihkan, nyatanya aku tetap bertahan dalam penantian. Jika menanti itu adalah sebuah kesalahan, biarlah itu menjadi kesalahan terindah (Kirania)