꧁༺•Ombrophobia•༻꧂

63 26 6
                                    

*Boleh saja berharap tetapi jangan minta lebih. Boleh saja menanti, tetapi juga harus tahu kapan waktunya berhenti.*

***
Hidden Paradise by Galuch Fema

Alif terpekur di ambang pintu melihat adiknya menjerit sekeras mungkin sambil menutup kedua telinga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alif terpekur di ambang pintu melihat adiknya menjerit sekeras mungkin sambil menutup kedua telinga. Wajah pucat dan cemas ketika menatap ke atas, melihat rintik berubah menjadi cerau hujan yang turun dengan deras.

Perlahan perempuan yang identik dengan pakaian serba hitam langsung luruh ke bumi, menyatu dengan tanah yang sudah mulai becek.

"Ning, bangun!" pekik Dewi mulai panik. Ia menggoyangkan tubuh perempuan kurus yang sudah menutup mata.

Netra Dewi semakin panik ketika melihat ada sosok lain datang menghampirinya. Mulut terasa kaku menyebutkan nama suaminya yang tatapan sekarang terasa sangat berbeda.

Gus, bisik Dewi di ambang kepanikan yang luar biasa. Perlahan tangan mengendur karena laki-laki itu tanpa kata-kata langsung mengangkat tubuh Kiran.

Dewi hanya bisa mematung. Gus pergi tanpa sepatah kata pun dari bibir laki-laki itu. Kaki Dewi terasa sangat berat untuk beranjak dari tempat pemakaman ini. Padahal tubuhnya sudah basah kuyup, pakaian yang dikenakan menyatu dengan tubuhnya. Perempuan itu bisa menebak jika setelah ini hubungan dengan Gus Alif bakal tidak baik.

꧁༺••༻꧂

Entah sudah beberapa jam Alif menunggu di depan ruang tindakan di salah satu rumah sakit ternama di Surakarta. Ia enggan beranjak sedikit pun dari kursi tunggu. Laki-laki itu membiarkan pakaian kering secara sendiri. Padahal jelas-jelas ada salah satu santri yang sudah mengirimkan pakaian bersih, suruhan dari istri Gus.

Suara derap langkah kaki mendekat, membuyarkan pikiran Gus Alif. Laki-laki yang tengah dalam kecemasan langsung menengadah melihat siapa yang datang.

"Bagaimana dengan Kiran?"

Laki-laki yang baru datang itu sangat panik. Ia lalu menjatuhkan tubuhnya duduk berdampingan dengan sahabatnya.

"Buruk."

Satu kata terlepas dari bibir Alif. Pikiran kembali tertuju pada Kiran yang belum membuka kedua matanya.

"Kenapa tidak cerita masalah ini sebelumnya sama aku?"

Alif menelan saliva. Ia sendiri yang mengubur rapat-rapat kondisi Kiran, sekarang ia sendiri yang kebingungan dengan Kiran untuk  ke depannya.

"Apa bapak kandungnya tahu tentang kondisi Kiran?" selidik laki-laki itu karena mencium ada sesuatu yang ganjil. Selepas dari Jakarta ia memberanikan diri datang ke pesantren. Melalui info orang dalam pesantren, ia baru tahu kenyataan buruk ini.

The Last Wait Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang