Prolog

78 11 42
                                    

▷ || ◁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

||

Tidak seperti salju yang putih nan dingin, pasir pantai yang menjadi tempat pijakan sepasang kaki tanpa alas yang tengah berjalan meninggalkan jejak di atasnya, hangat namun memilukan.

Terik matahari dapat terasa jelas, terutama pada bagian tengkuknya yang tanpa penghalang karena posisi rambutnya yang diikat pendek.

Gadis bermata coklat itu tersenyum memandangi sosok pria yang tengah berjalan kearahnya dari kejauhan. Semakin dekat, mulai nampak raut indah wajah lelaki tersebut, menghanyutkan. Sampai langkahnya terhenti di depan gadis yang belum berhenti tersenyum menatapnya.

"Ngapain nunggu disini hm?" tanya pria berbadan jangkung dengan suara bariton-nya. Ia seka keringat yang mengalir di kening gadisnya, "disini panas. Kamu bisa sakit".

"Aku gak apa-apa, kan ada Bara" ujar gadis yang menjadi lawan bicaranya itu. Ditatapnya lekat iris matanya, elok.

"Mutiara Almahira" gumamnya.

"Ya?" balas gadis yang namanya disebut itu.

"Se-yakin itu kamu bahwa aku gak bakal pergi?" tanya Bara.

"Kamu udah janji," jawab Mutiara dengan nada yang mulai menurun.

Bara melangkah sedikit lebih maju seraya menyentuh pelipis gadisnya, "Semesta gak akan selalu berpihak ke kita. "

"Maksud kamu apa?" Mata Mutiara mulai berkaca-kaca. Ia berharap tak ada maksud lain dari ucapan Bara barusan.

hening sesaat sebelum Bara menunduk sambil tersenyum tipis.

"Akhirnya udah puas lihat ekspresi langka itu," ucap Bara dengan tawa jahilnya.

"Heh! Bara jahat! Awas aja kena tabok tau rasa!" Seru Mutiara mulai emosi.

"Kejar sini kalo bisa!" teriak Bara yang sudah berlari lebih dulu menjauh dari Mutiara. Gadis itu berancang-ancang untuk mengejarnya. Enak saja Bara mengerjainya padahal Mutiara sudah hampir menangis.

Aksi kejar-kejaran pun berlangsung lumayan lama, hingga Mutiara kewalahan mengejarnya. Ia berhenti mengejar sambil memegang lututnya, berusaha mengatur kembali nafas yang terkuras.

"Udah stop, aku nyerah," ucap Mutiara yang masih ngos-ngosan.

Bara berhenti berlari kemudian tersenyum simpul, mulai mendekat padanya.

"Yaudah Bara ngalah. Nih tabok! Mumpung deket," ucap Bara dengan wajah yang sengaja ia arahkan lebih dekat pada wajah mutiara, mengikis jarak antara keduanya. Sampai Mutiara mundur saking dekatnya.

Sial, jantung Mutiara mulai tidak baik. Ia bisa melihat jelas ukiran wajah sempurna itu. Bara bisa melihat warna merah semu di wajah Mutiara, kemudian menyiratkan senyum miringnya.

Bara semakin mengikis jarak wajahnya dengan Mutiara, mengecup tipis bibir ranum gadisnya. Degup jantung gadis itu semakin cepat, rasanya ia ingin menghilang saja saat itu juga. Sayangnya, itu hanyalah kecupan singkat.

Mutiara menelan salivanya sendiri, dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia tidak seberani itu sampai harus menatap mata Bara secara langsung. Ia mulai bisa merasakan sendiri wajahnya yang memanas.

"Vio?"

Mutiara mengerutkan kening ketika mendengar nama tersebut terucap dari mulut Bara. Ia menoleh menatap Bara yang tengah melihat ke arah lain, dimana terdapat gadis tinggi yang ia kenal, Violin.

Violin menatap mereka berdua dengan tatapan sedih. Terlihat dari matanya yang mulai meneteskan air. Agaknya ia cemburu menyaksikan keromantisan Bara dan Mutiara. Keduanya memang sudah tahu akan hal itu.

Bara hendak menghampiri Violin. Bagaimanapun juga, Violin adalah sahabatnya.

"Nggak! Jangan kejar gue!" seru Violin. Ia mundur perlahan menjauh dari Bara, kemudian berbalik dan berlari ke arah laut.

"Jangan ke sana!" teriak Bara mulai khawatir.

Violin menghentikan langkahnya, "Ga usah pura-pura peduli!" Ia kembali berlari lebih cepat ke arah laut.

"Vio! Bahaya!" teriak Bara dengan satu tangan yang menjulur ke arah Violin. Namun Violin tak memedulikannya. Ia terus berlari.

Kini kakinya sudah menyentuh air. Tepat ketika ombak besar hanya tinggal beberapa meter saja dari tempatnya. Bara yang sudah mengetahui itu, segera berlari untuk menyelamatkan sahabatnya.

Perasaan Mutiara mulai tidak enak. Ia berdiri namun tak sanggup melakukan apapun. Ia hanya diam terpaku melihat kejadian tersebut.

Bara menarik tubuh Violin kuat-kuat. Berusaha membebaskannya dari gulungan ombak.

"Pergi Bara! Sakit.." Violin menangis seraya berusaha melepaskan genggaman Bara yang berusaha menyelamatkannya.

"Enggak! Lo gak boleh kenapa-napa!" ucap Bara.

Muti berlari hendak membantu Bara. Pria tersebut menarik Violin dalam sekali sentakan. Ya, Violin terguling ke tepian, namun sebaliknya pada Bara.

"BARA!! AAAARRGH!"

Terlambat. Kejadian tak terduga Mutiara saksikan secara langsung.

Dia terseret ombak. Tak ada apapun untuk Bara genggam agar dia bisa bertahan, hanya pasir. Bara tenggelam bersamaan dengan surutnya ombak di sana.

Hilang, tak terlihat lagi.

Hilang, tak terlihat lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
I Sea U and Paradise Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang