▷ || ◁
Hari yang cerah untuk bersantai dan minum kopi khas pagi hari. Namun Raza justru terlihat muram di Minggu pagi. Mungkin karena dirinya harus mengulang rutinitasnya di hari itu untuk menjumpai seseorang yang paling dicintainya dalam keadaan yang tidak berubah sejak satu tahun yang lalu.
Langkah pria itu berbunyi nyaring di sepanjang koridor rumah sakit, hingga ia berhenti di depan sebuah ruangan tertutup. Ruangan yang tidak mewah namun juga masih layak ditempati, meski hasil bujukan Raza dan belas kasihan pemilik rumah sakit pada pasien koma.
"Aku makin deket sama tujuan. Jadi aku harap papah bisa lihat langsung hasilnya nanti," ucap Raza tanpa melihat ke arah orang yang ia tuju. Karena ia sudah sangat hafal ekspresi yang menjadi respon setiap ucapannya.
Helaan nafas lolos keluar dari Raza. Sakit hati yang ia rasakan dulu sangat sulit ia lupakan setiap kali menjumpai ayahnya dalam keadaan yang sama. Namun tidak sepenuhnya helaan nafas itu karena alasan lelah akan hal itu, tetapi juga karena ia tidak bisa lebih lama melihat ayahnya. Hari ini Raza juga harus bekerja lebih awal.
Sama halnya dengan Raza yang suram di Minggu cerah ini, Mutiara juga begitu. Ia berjongkok untuk memasang kembali kaitan sepatu pantofel-nya yang sempat terlepas.
Kaki kurusnya sudah mulai berkeringat padahal pagi itu terasa dingin sekali untuknya. Entah memang benar-benar dingin atau karena dirinya kini tengah mengenakan dress lengan pendek dan panjang selutut.
Merupakan suatu penghargaan atas pencapaiannya kali ini. Ia berhasil berjalan sejauh enam ratus meter sendirian. Lelah? Tentu saja. Namun untungnya ia bisa sampai di cafe yang ia tuju. Andai saja Ramida datang, Mutiara tidak akan secapek itu. Setidaknya mengobrol bisa membuatnya lupa bahwa dirinya tengah berjalan.
Jangan tanya mengapa Mutiara tidak naik kendaraan saja. Karena jawabannya sudah pasti, itu bukan maunya. Niatnya Mutiara hendak berjalan-jalan pagi bersama Ramida. Namun justru Ramida lah yang tak datang. Padahal Mutiara sudah menelpon entah berapa kali.
Tangan kecil berkeringatnya menggenggam pegangan pintu dari kaca. Masih dalam keadaan lelah, Mutiara kini tengah berusaha mengatur nafas sebelum memesan sesuatu. Pelayan pria yang sedari tadi menunggunya itu kewalahan hanya untuk berdiri menunggu Mutiara berbicara.
"Strawberry chips tanpa serutan coklat dan vanilla ice cream?" ucap si pelayan mencoba memastikan, bukan lagi menebak. Mendengar itu, Mutiara tersenyum lebar karena dirinya merasa terbantu. "Ice creamnya enggak," ungkap Mutiara mengoreksi.
Mutiara membuka handphonenya sambil menunggu pesanannya tiba. Gadis itu menghela nafas ketika menyadari bahwa tidak ada yang menarik di sana. Untungnya pesanannya itu tidak perlu ia tunggu lama.
Pria tadi mengantarkan pesanan Mutiara dengan hati-hati. Arah pandang Mutiara pun berpindah padanya. Sengaja tidak langsung Mutiara alihkan. Wajah itu sedikit mengusiknya. Dan setelah ia menyadari, Mutiara merasa dirinya berhak bertanya, "itu beneran kamu?" Pertanyaannya itu hanya dibalas senyuman singkat. Ralat, pelayan itu menyeringai, bukan tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Sea U and Paradise
Teen Fictionsea and love Mengisahkan tentang dia yang masih belajar tentang perasaan. Belajar tentang arti pertemuan namun ia sama sekali tidak menyangka justru ujiannya bukan lah perihal pertemuan itu, namun tentang perpisahan. Bagaimana takdir menyatukan mere...