"QIAN!!!"
Aku menoleh ke arah suara dan melihat satu ruangan ini sedang menatap ke arahku seolah aku ini artis ibu kota. Padahal aku daritadi cuma lagi kerja sambil nyanyi-nyanyi pelan aja.
Apa jangan-jangan nyanyiku kegedean, ya?
"Kenapa? Suara nyanyi gue kekencengan, ya?" tanyaku panik pada mereka.
Ci Novi—wanita berumur 35 tahun dengan mata sipit dan rambut ikal kecoklatan di sebelahku—meringis sambil menggerak-gerakkan kepalanya ke arah belakang.
Saat aku mengikuti arah kepalanya yang bergerak seperti robot rusak itu, aku dapat melihat sumber dari segala kelebayan yang sedang terjadi di hadapanku ini.
Agnibrata Haribawa.
Kepala departemen Finance dan Accounting, tempat aku mengais uang untuk makan dan senang-senang.
Pria berumur 32 tahun itu sedang bersedekap sambil bersandar ke pintu ruangannya yang terbuat dari kaca semua itu. Ia menatapku dengan datar lalu kepalanya menggeleng-geleng pelan. Tangannya kemudian melambai singkat untuk memanggilku, sebelum kemudian ia berbalik dan masuk ke dalam ruangannya di pojok itu.
Aku berdecak sambil melepas airpods. "Apaan lagi, sih?!"
"Gila lo. Dia manggil dari yang pelan sampai ngegas, dari sambil duduk sampe berdiri. Lo nggak dengar juga." Ucap Ci Novi sambil berdecak-decak dan geleng-geleng kepala.
"Kuping lo kalau disumpel mending satu aja nggak, sih?" tanya Davina yang duduk di sebelah kiri Ci Novi.
Dahiku mengernyit.
Ini, nih, yang paling aku benci dari lingkungan pekerjaanku. Kebanyakan aturan. Nggak boleh makan di ruangan, nggak boleh mainan ponsel pas jam kerja, nggak boleh jajan, nggak boleh ketawa-ketawa, harus pakai heels dan rok, bahkan sekarang aku cuma boleh pake airpods sebelah aja.
Ya Tuhan! Ini kantor apa akademi militer, sih?!
"Nggak, sih, Dav. Gue rasa demi ketenteraman umat, Qiandra suruh tukeran duduk sama lo aja." Bisik Reksa—cowok yang duduk di belakangku—sambil terkekeh bahagia.
Davina—perempuan berambut panjang berwarna hitam yang duduk paling dekat dengan ruangan Ibra itu—langsung tertawa. "Bener, sih, anjir. Gue bilangin, ya, Qi, ke bapak?"
Aku sontak melotot.
"Gemes banget," Acid yang duduk di hadapanku namun tertutup kubikel menyahut. "Gue sekalian mau propose ke bapak biar Qiandra jadi asprinya dia, deh."
Semua serempak tertawa.
"HAHA! Tertawalah kalian semua sebelum gue membalas budi buruk kalian ini, ya, wahai budak-budak tak tahu diri!" Dengkusku sambil berdiri dan memberikan pelototan tajam ke seluruh penjuru ruangan.
"Iya, anjir. Jangan kayak gitu. Berkat Qiandra, kita semua jadi jarang dipanggil bapak. Qiandra tiap harinya bisa menghisap tenaga bapak sampe dia nggak punya tenaga lagi buat nyiksa kita." Yoga—laki-laki berkacamata yang duduk di sebelah Acid—nyeletuk.
"Bener, lagi. Gue pernah, tuh, ada meeting sama bapak abis dia manggil Qiandra ke ruangan. Mukanya lemes banget. Buang napas berkali-kali sambil pijit-pijit kepala. Pas mau manggil gue, dia malah nyebut nama Qiandra. Katanya pusing ngurusin tingkah Qiandra." Sahut Ci Novi sambil terkikik geli.
Lah, ngakak! Ada juga aku yang sakit kepala berhadapan sama Ibra. Tiap hari kerjaannya manggil aku ke ruangan dia, ada aja kesalahan yang dibahas-bahas. Kadang nggak substansial, dibuat-buat, buang-buang waktu aja, sumpah!
"Qiandra!"
Seluruh candaan mendadak hening ketika terdengar suara panggilan maut dari dalam ruangannya itu. Semua serempak menoleh dan melihat ke arah ruangan Ibra yang transparan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemons✔️
Chick-Lit[Bukabotol #3] Aku yakin, aku lagi menghadapi quarter life crisis versiku di umur 27 tahun menuju 28 tahun. Melihat pencapaian anak-anak muda jaman sekarang, bikin level insecureku semakin melesat. Masa mereka umur 22 udah punya mobil sendiri? Rumah...