Part 11

713 150 140
                                    

🕋🕋🕋

"Akankah kisah kami bertanda mim seperti waqaf lazim yang harus berhenti atau justru bertanda lam alif dalam waqaf laa washal yang justru tak boleh berhenti?”

Hafidz Abidzar Ibrahim

🕋🕋🕋

Langit gelap tanpa bintang terhampar luas sejauh mata memandang. Keriuhan sayup-sayup terdengar suara sholawat beriring rebana bertalu. Perayaan pergantian tahun baru Hijriyah yang diselenggarakan oleh para mahasiswa muslim penghuni rumah sewa berlantai dua puluh itu masih belum usai. Dari jendela di lantai lima belas, seorang pemuda yang baru selesai mengikuti masa orientasi di tempat barunya menimba ilmu, sudah satu jam duduk termenung. Hampa ... sebuah rasa yang sangat menyiksa.

“Fiz, kamu belum tidur?”

Si empunya nama mengalihkan netranya ke sosok yang menatapnya dari atas kasur.

“Nanti Mas, belum ngantuk. Baru jam sembilan.”

Pria yang usianya empat tahun lebih tua itu mengusap wajah dan beringsut dari peraduan.

“Kenapa? Nggak betah? Baru juga sebulan.”

Kekehan terdengar dari bibir berhias kumis tipis dan berewok yang membingkai rahang kokoh itu.

“Nggak Mas, aku betah kok di sini. Lagi pula, umi sama abah juga sering telepon.”

“Bagus kalau begitu. Semakin semangat kamu kuliah, semakin cepat selesai. Artinya semakin cepat juga kamu pulang.”

Kafaby, menasihati adik sepupunya itu. Hafidz hanya mengangguk dan menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.

Sweatermu sudah aku ambil dari laundry. Sesekali ganti lah, seneng banget sama sweater itu. Mas mau keluar bentar ya.”

Lagi-lagi Hafidz hanya mengangguk dan menggumamkan kata hati-hati pada sang kakak. Dia mengusap wajahnya kasar dan beberapa kali menyugar rambut. Jemarinya beralih pada benda persegi yang berada di meja sebelum suara tilawah nan merdu terdengar.

Pemuda setinggi seratus delapan puluh senti itu melangkah menjauh dari kursinya, mengambil sesuatu di lemari dan kembali duduk setelah mendapati apa yang dicarinya. Benda yang didapatnya di hari ulang tahunnya bulan kemarin. Sebuah sweater  berwarna navy yang pernah dikaguminya saat memasuki area mall beberapa bulan lalu ketika pergi menonton film  berujung insiden kemarahan Gaziya padanya.

Hafidz tidak menyangka Zia akan membelikan sweater navy tersebut untuknya sebagai kado ulang tahun sekaligus perpisahan. Juga sebuah jam tangan yang kini selalu menemani hari-harinya.

“Ya Rabb, kenapa masih belum hilang? Kenapa masih terasa semuanya, padahal jarak kami sudah sejauh ini. Astagfirullahal’adzim ... aku harus bagaimana Ya Rabb ... aku harus bagaimana?”

Netra kecoklatan itu memerah, berhias genangan air di pelupuknya. Sekuat tenaga dia berjuang melupakan semuanya, tetapi tak sedikitpun memori itu terhapus. Jarak yang semakin jauh justru membuat batinnya semakin tersiksa.

“Zi ... apa kamu masih inget sama aku?” Hafidz bermonolog.

Suara tilawah di laptop yang selalu diputar setiap kali punya waktu, adalah suara Gaziya.

TABIR CINTA (TAMAT) - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang