Part 29

973 158 167
                                    

Hafidz berlari mencari sang ayah, untuk membatalkan keputusannya.

“Pak! Pak!” Teriakan panik beberapa santri membuat Hafidz menghentikan langkahnya.

Sosok pria berkoko putih tergeletak di dekat auditorium, dibantu para santri. Mata Hafidz tertuju pada sebelah tangan pria tersebut yang tidak memiliki telapak. Hafidz langsung mengenalinya dan memutar arah mendekat pada sosok Galih yang sudah tak sadarkan diri.

“Bantu saya, bawa ke mobil. Yang lain, tolong beritahu ustadz Kafaby kalau saya ke rumah sakit dengan pak Galih, ya?”

“Baik, Ustadz,” seru dua orang santri yang segera berlari mencari Kafaby.

Hafidz membawa Galih ke rumah sakit terdekat. Tubuh pria itu memucat dan Hafidz segera menghubungi Ryo agar memberitahu Tsabita untuk selanjutnya disampaikan pada keluarga Gaziya jika pak Galih masuk rumah sakit. Setelah mendapat perawatan, pak Galih masih belum terlihat membaik. Hafidz menemaninya, sembari membaca ayat suci.

Menurut keterangan dokter, kondisi fisik pak Galih lemah akibat tekanan darahnya terlalu tinggi dan riwayat penyakit jantung bawaannya. Pasti, sebagai orang tua, Galih memikirkan masa depan sang putri yang beberapa kali harus mengalami fitnah keji. Semalam Reza memberanikan diri mengatakan semuanya,  mengakui seluruh kesalahannya. Galih tidak membenci pemuda itu, toh, semua sudah terlanjur. Marah pun tak akan ada gunanya, walau akhirnya semua rasa stres itu membuat kesehatannya terganggu.

“Papi!” teriak Sarah histeris saat mendapati suaminya yang masih terbaring lemah di ranjang dengan infus di tangan.

Hafidz menghentikan bacaan mushafnya dan memilih keluar bersama Ryo yang juga datang ke sana. Tak lama Gaziya muncul dengan mata berderai tangis diantar Hana dan Kafaby.

“Gimana Fiz?”

“Katanya tekanan darahnya tinggi dan punya riwayat penyakit jantung. Mungkin, pak Galih kepikiran soal Reza semalam,” kata Hafidz.

“Nggak mudah buat nerima semua kegilaan itu. Kamu bayangin, gimana Zia selama ini harus nanggung fitnah yang timbul karena keisengan Reza,” desah Ryo.

“Fiz ... hasilnya udah keluar. Abah sama umi langsung mau ngelamarin dia buat kamu.”

Hati Hafidz mencelos. Ia sampai terlupa jika seharusnya menemui sang ayah untuk membatalkan sayembaranya.

“Siapa Mas?” selidik Ryo dengan mata berbinar.

Belum sempat Kafaby menjawab, kyai Abdurahman, nyai Humairah, dan kyai Malik datang.

“Pak Galih dimana?” tanya kyai Abdurahman.

“Di dalem, Bah,” jawab Kafaby.

“Sana, masuk,” bisik Kafaby sambil mendorong punggung Hafidz.

Hafidz menggantikan ibunya mendorong kursi roda sang kakek. Di dalam ruangan Gaziya tak henti-hentinya melantunkan bacaan Al Qurannya sembari mengelus tangan sang ayah.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap sang kyai.

Beberapa orang di ruangan itu segera menjawab. Kyai Abdurahman mendekat ke arah pak Galih yang kini sudah membuka matanya. Tidak ada kata terucap, tangan sang kyai terulur dan sedetik kemudian pria itu mencium tangan yang hanya sampai batas pergelangan tanpa telapak milik Galih.

“Kyai, ada apa?” lirih Galih yang terkejut.

“Saya mohon maaf atas perkataan saya yang sudah menyakiti hati Pak Galih dan Nak Humairah.”

“Saya sudah memaafkan, tidak perlu dipikirkan lagi,” ucap Galih tulus.

Alhamdulillah. Pak, selain silaturahmi, kedatangan saya kemari juga memiliki niat meminang putri Pak Galih untuk diperistri putra kami. Hafidz.”

TABIR CINTA (TAMAT) - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang